@colleen_fusco: that movie was truly beautiful - also dr pepper with coffee creamer SLAPS #barbie #barbiegirl #BarbieMovie #fit #fitcheck #outfit #outfitoftheday #outfitinspo #barbiefit #barbieoutfits #thatgirl #cleangirl #ugccreator #contentcreator #microinfluencer #wavyhair #wavyhairinspo

colleen ☀️
colleen ☀️
Open In TikTok:
Region: US
Sunday 23 July 2023 23:31:32 GMT
696
27
0
0

Music

Download

Comments

There are no more comments for this video.
To see more videos from user @colleen_fusco, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

POV 3 | “Kalau kamu bukan Ayahku, kamu siapa?!” serumu tak percaya. Suaramu bergetar, matamu memanas. Jay menatapmu lekat. Tatapannya gelap, sama sekali tak lepas darimu. Kata-katanya barusan menghantam telingamu, membuat darah di seluruh tubuhmu seakan berhenti mengalir. Kamu mundur perlahan, langkahmu goyah seperti hampir tumbang. Tubuhmu gemetar, napasmu tersengal. Jay melangkah mendekat. Tangannya terulur, jemarinya menyentuh dagumu pelan, memaksa wajahmu kembali menghadap kearahnya. “Apa yang kamu takutkan? Hm?” bisiknya rendah, nyaris seperti racun.  “Dari dulu saya yang menjaga kamu. Yang melihat kamu tumbuh… yang tahu semua tentang kamu. Bukan Riki. Bukan siapapun.” Wajahnya semakin mendekat, bibirnya berbisik persis di telingamu. “Maka dari itu… saya nggak rela kamu didekati siapapun, y/n. Karena kamu… milik saya.” Kamu spontan mendorong tubuhnya, air mata sudah membasahi wajahmu. “Kenapa Papi bohongin aku?! Kenapa?!” serumu histeris. “Kamu jahat! Kamu jahat!” teriakmu lagi, sambil memukul-mukul dadanya. Tapi Jay tak bergeming, tetap menahanmu di dalam ruangnya. “Awas! Aku mau pergi! Aku mau pergi!” bentakmu, mencoba melepaskan diri. Tangan Jay mengunci kedua bahumu, menahannya erat tapi tak menyakitkan.  “Hey… tenang. Dengar saya,” ucapnya, suaranya kali ini lebih dalam. “Saya nggak akan pernah nyakitin kamu. Saya cuma mau kamu tetap di sini.” Kamu menatapnya tak terima, napasmu masih terengah. Jay sedikit menunduk, pandangannya menusuk matamu. “Saya akan ceritakan semuanya,” bisiknya pelan. ••• Malam itu di ruang tamu, suasana begitu sunyi. Hanya detak jam dinding yang terdengar menusuk telinga. Jay menatapmu lama, tatapannya dingin, tapi terselip kelelahan yang anehnya justru membuatmu semakin gugup. “Kamu masih ingat pertama kali ketemu saya?” tanyanya tiba-tiba. Kamu menggeleng pelan, menunduk, jemarimu meremas ujung pakaianmu sendiri. Jay menarik napas berat. Jari-jarinya meremas telapak tangannya, seakan menahan sesuatu dalam dirinya. “Waktu itu… kamu nggak kenal siapa pun. Kamu bahkan nggak tau siapa dirimu. Malam itu, saya yang menemukan kamu dijalan. Sendirian. Kamu ketakutan, kamu hilang arah. Saya yang akhirnya membawa kamu pulang, kerumah ini.” Kamu terdiam. Ada denyut asing di kepalamu, seperti serpihan memori yang berusaha muncul tapi segera tenggelam lagi. “Aku…” suaramu hampir tak terdengar. Jay menoleh cepat, lalu menggenggam tanganmu kuat-kuat. “Kamu lupa, kan? Kamu trauma. Kamu hilang. Dan saya yang menemukan kamu. Saya yang merawat kamu. Saya yang mengajarkan kamu cara makan lagi, cara tidur tanpa mimpi buruk, cara kamu tersenyum… dan saya yang bikin kamu punya rumah lagi.” Suaranya bergetar tulus, tapi dengan intensitas yang menekan dadamu. “Tapi… kenapa harus bohong…” suara lirihmu pecah. Tatapan Jay mengunci matamu. Tangannya semakin erat, seolah tak sudi melepasmu. “Karena kamu hampir kehilangan diri kamu. Karena kamu butuh tempat untuk pulang. Dan itu saya.” Ia mengusap air matamu dengan lembut, yang terasa terlalu intim. “Karena saya juga butuh sosok dihidup saya. Setelah kedua orang tua saya meninggal, saya dipaksa keadaan untuk hidup mandiri dari dulu. Dan saya butuh sosok seperti kamu.” Wajahnya semakin mendekat, begitu dekat hingga hangat napasnya menyapu kulitmu. Bisikannya pelan, menusuk, tak terbantahkan. “Dan dari awal… saya bukan cuma menganggap kamu anak. Kamu sudah menjadi segalanya untuk saya.” ••• Pagi itu, kamu terbangun dengan wajah sembab. Bekas tangis semalaman masih membekas di pelupuk matamu. Seragam sekolah sudah melekat di tubuhmu, tapi rasanya begitu berat untuk melangkah keluar kamar. Dengan napas berat, akhirnya kamu membuka pintu. Namun langkahmu terhenti ketika melihat siapa yang berdiri di depan pintu. Jay. Kamu terdiam, menatapnya datar, lalu mencoba melangkah pergi. Namun lengan Jay cepat menahanmu.
POV 3 | “Kalau kamu bukan Ayahku, kamu siapa?!” serumu tak percaya. Suaramu bergetar, matamu memanas. Jay menatapmu lekat. Tatapannya gelap, sama sekali tak lepas darimu. Kata-katanya barusan menghantam telingamu, membuat darah di seluruh tubuhmu seakan berhenti mengalir. Kamu mundur perlahan, langkahmu goyah seperti hampir tumbang. Tubuhmu gemetar, napasmu tersengal. Jay melangkah mendekat. Tangannya terulur, jemarinya menyentuh dagumu pelan, memaksa wajahmu kembali menghadap kearahnya. “Apa yang kamu takutkan? Hm?” bisiknya rendah, nyaris seperti racun. “Dari dulu saya yang menjaga kamu. Yang melihat kamu tumbuh… yang tahu semua tentang kamu. Bukan Riki. Bukan siapapun.” Wajahnya semakin mendekat, bibirnya berbisik persis di telingamu. “Maka dari itu… saya nggak rela kamu didekati siapapun, y/n. Karena kamu… milik saya.” Kamu spontan mendorong tubuhnya, air mata sudah membasahi wajahmu. “Kenapa Papi bohongin aku?! Kenapa?!” serumu histeris. “Kamu jahat! Kamu jahat!” teriakmu lagi, sambil memukul-mukul dadanya. Tapi Jay tak bergeming, tetap menahanmu di dalam ruangnya. “Awas! Aku mau pergi! Aku mau pergi!” bentakmu, mencoba melepaskan diri. Tangan Jay mengunci kedua bahumu, menahannya erat tapi tak menyakitkan. “Hey… tenang. Dengar saya,” ucapnya, suaranya kali ini lebih dalam. “Saya nggak akan pernah nyakitin kamu. Saya cuma mau kamu tetap di sini.” Kamu menatapnya tak terima, napasmu masih terengah. Jay sedikit menunduk, pandangannya menusuk matamu. “Saya akan ceritakan semuanya,” bisiknya pelan. ••• Malam itu di ruang tamu, suasana begitu sunyi. Hanya detak jam dinding yang terdengar menusuk telinga. Jay menatapmu lama, tatapannya dingin, tapi terselip kelelahan yang anehnya justru membuatmu semakin gugup. “Kamu masih ingat pertama kali ketemu saya?” tanyanya tiba-tiba. Kamu menggeleng pelan, menunduk, jemarimu meremas ujung pakaianmu sendiri. Jay menarik napas berat. Jari-jarinya meremas telapak tangannya, seakan menahan sesuatu dalam dirinya. “Waktu itu… kamu nggak kenal siapa pun. Kamu bahkan nggak tau siapa dirimu. Malam itu, saya yang menemukan kamu dijalan. Sendirian. Kamu ketakutan, kamu hilang arah. Saya yang akhirnya membawa kamu pulang, kerumah ini.” Kamu terdiam. Ada denyut asing di kepalamu, seperti serpihan memori yang berusaha muncul tapi segera tenggelam lagi. “Aku…” suaramu hampir tak terdengar. Jay menoleh cepat, lalu menggenggam tanganmu kuat-kuat. “Kamu lupa, kan? Kamu trauma. Kamu hilang. Dan saya yang menemukan kamu. Saya yang merawat kamu. Saya yang mengajarkan kamu cara makan lagi, cara tidur tanpa mimpi buruk, cara kamu tersenyum… dan saya yang bikin kamu punya rumah lagi.” Suaranya bergetar tulus, tapi dengan intensitas yang menekan dadamu. “Tapi… kenapa harus bohong…” suara lirihmu pecah. Tatapan Jay mengunci matamu. Tangannya semakin erat, seolah tak sudi melepasmu. “Karena kamu hampir kehilangan diri kamu. Karena kamu butuh tempat untuk pulang. Dan itu saya.” Ia mengusap air matamu dengan lembut, yang terasa terlalu intim. “Karena saya juga butuh sosok dihidup saya. Setelah kedua orang tua saya meninggal, saya dipaksa keadaan untuk hidup mandiri dari dulu. Dan saya butuh sosok seperti kamu.” Wajahnya semakin mendekat, begitu dekat hingga hangat napasnya menyapu kulitmu. Bisikannya pelan, menusuk, tak terbantahkan. “Dan dari awal… saya bukan cuma menganggap kamu anak. Kamu sudah menjadi segalanya untuk saya.” ••• Pagi itu, kamu terbangun dengan wajah sembab. Bekas tangis semalaman masih membekas di pelupuk matamu. Seragam sekolah sudah melekat di tubuhmu, tapi rasanya begitu berat untuk melangkah keluar kamar. Dengan napas berat, akhirnya kamu membuka pintu. Namun langkahmu terhenti ketika melihat siapa yang berdiri di depan pintu. Jay. Kamu terdiam, menatapnya datar, lalu mencoba melangkah pergi. Namun lengan Jay cepat menahanmu. "Maaf soal semalam." suaranya rendah, matanya terlihat lelah. "Tolong jangan jauhi saya, y/n." (+komen ) #pov #jay #jayedit #fypage #fyp

About