@halole.90: ~*تشرقُ روحـِჂ̤ دآئِماً ؏ـندَ رؤيِتڪ❤️❤️❤️🦋.*~✨♥️*_ foryou#viral#fypシ#fyp#ستوريات

um muhammad
um muhammad
Open In TikTok:
Region: TR
Sunday 23 June 2024 22:58:57 GMT
25936
1617
12
524

Music

Download

Comments

h_s_o_n_t_e_16
خـۦٰ۫ـࢪيفـۦٰ۫ـ🌘 :
@سۜآهِرُ الۛلۛيۧالۛيۧ 🖤🥀 روح روحي ❤️🥺🍯✨🫂
2024-06-30 10:09:33
4
user2058186802166
اميره بلا تاج ❤ :
❤❤❤
2024-06-24 09:53:33
3
userww3v3rtlc6
ياسمين :
😍😍😍
2024-06-24 12:16:16
3
user2058186802166
اميره بلا تاج ❤ :
🥰🥰🥰
2024-06-24 09:53:38
3
user2058186802166
اميره بلا تاج ❤ :
🤗🤗🤗
2024-06-24 09:53:36
3
user2058186802166
اميره بلا تاج ❤ :
🤭🤭🤭
2024-06-24 09:53:35
2
To see more videos from user @halole.90, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution adalah salah satu figur penting dalam sejarah Indonesia sepanjang karir militernya pada masa kemerdekaan dan sepanjang pemerintahan Orde Lama. Ia terkenal atas dua hal: pertama, sebagai perwira militer tertinggi kedua dalam Revolusi Nasional Indonesia (1945-1949) setelah Jenderal Besar Soedirman. Selain itu, ia juga adalah pemikir utama strategi militer Indonesia. Semasa Revolusi, Nasution memimpin Divisi Siliwangi (kini Kodam Siliwangi) yang berbasis di Jawa Barat. Pada 1948-1949, ia kemudian menjadi panglima Markas Besar Komando Djawa (MBKD). Pada masa inilah Nasution mengkonsepsikan ide “Perang Rakyat Semesta,” yang hingga kini masih mempengaruhi strategi militer Indonesia, adalah buah pikirannya yang berdasarkan pada pengalaman-pengalamannya dalam Revolusi. Pemikiran ini dituang dalam, antara lain, bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Perang Gerilya (The Fundamentals of Guerrilla Warfare). Buku ini diterjemahkan ke banyak bahasa di dunia, dan menjadi salah satu buku penting dalam teori perang gerilya, menempatkan Nasution bersama pada ahli gerilya dunia seperti Caldwell, Mao Zedong, dan Vo Nguyen Giap. Kedua, Nasution dikenal sebagai pemikir utama dibalik konsep “fungsi sosial-politik” tentara di Indonesia. Konsep ini pertama dilantunkan oleh Nasution pada pidatonya dalam Hari Angkatan Perang tahun 1963, dimana ia menyatakan bahwa “angkatan perang tidak boleh mendominasi proses politik maupun menjadi ‘alat mati’ di tangan pemerintah sipil” (Jenkins, 2010: 258). Tiga tahun kemudian, konsep “Jalan Tengah” menjadi cikal bakal “Dwifungsi ABRI” yang menjadi soko guru kekuatan politik Orde Baru.Lahir pada 3 Desember 1918 di Kotanopan, Sumatera Utara (Who's Who in Indonesia, 1971: 250). Nasution awalnya berniat untuk menjadi guru. Pada masa mudanya, ia bersekolah di Algemene Middelbare School (AMS) Bandung. Saat Nazi Jerman menginvasi Belanda pada Mei 1940, Belanda menutup Akademi Militer Kerajaan di Breda dan membuka cabangnya di Bandung. Nasution sendiri awalnya berniat untuk mendaftar sebagai kadet perwira di Breda (Nasution, 1982: 32). Namun setelah Belanda jatuh, pemerintah Belanda kemudian membuka Korps Pendidikan Perwira Cadangan (Corps Opleiding Reserve Officieren/CORO) yang terbuka untuk sejumlah perwira pribumi. Nasution diterima sebagai kadet CORO pada 1940 dan menjadi Letnan Dua dalam tentara kolonial Belanda (Koninklijk Nederlands Indische Leger, KNIL). Pada masa-masanya di Bandung, Nasution bertemu dengan istrinya, Johanna Sunarti Nasution (1923-2010), yang merupakan anak dari R.P. Sunario Gondokusumo, aktivis politik dari Partai Indonesia Raya (Parindra), golongan nasionalis kooperatif yang mendukung kerjasama dengan Belanda (Turner, 2018: 19). Pertemuan Nasution dengan keluarga Gondokusumo ini menjadi signifikan, karena kala itulah, untuk pertama kalinya Nasution terekspos dengan dunia politik (Turner, 2018: 6). Saat Jepang menginvasi Hindia Belanda pada 1942, Nasution dan unitnya ditempatkan di Jawa Timur. Pada saat itulah Nasution memutuskan untuk desersi dan meninggalkan unit KNIL-nya (Nasution, 1982: 82 -84). Momen ini penting bagi pemikiran politik seorang Nasution, karena sejak saat ini ia telah memutuskan hubungannya dengan pihak kolonial (i.e. KNIL), dan lebih memilih untuk mendukung Indonesia merdeka nantinya (Turner, 2018: 38 - 39). Nasution kemudian kabur ke Bandung, dimana ia ditampung oleh calon mertuanya, Sunario Gondokusumo. Ia kemudian sempat menjadi pengurus Barisan Pemuda Priangan pada masa Jepang, yang kemudian dibubarkan saat pemerintah militer Jepang mendirikan Seinendan (Nasution, 1982: 41). Meskipun Nasution tidak mendaftarkan diri dalam pasukan Pembela Tanah Air (PETA) buatan Jepang, ia menjalin hubungan baik dengan para perwira Indonesia yang dididik di dalam PETA (Turner, 2018: 42). Hal ini mempengaruhi peranan Nasution dalam Revolusi Nasional Indonesia (1945-1949) di masa mendatang.#gofhistory #fypシ゚viral #g30spki #jendral #nasution
Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution adalah salah satu figur penting dalam sejarah Indonesia sepanjang karir militernya pada masa kemerdekaan dan sepanjang pemerintahan Orde Lama. Ia terkenal atas dua hal: pertama, sebagai perwira militer tertinggi kedua dalam Revolusi Nasional Indonesia (1945-1949) setelah Jenderal Besar Soedirman. Selain itu, ia juga adalah pemikir utama strategi militer Indonesia. Semasa Revolusi, Nasution memimpin Divisi Siliwangi (kini Kodam Siliwangi) yang berbasis di Jawa Barat. Pada 1948-1949, ia kemudian menjadi panglima Markas Besar Komando Djawa (MBKD). Pada masa inilah Nasution mengkonsepsikan ide “Perang Rakyat Semesta,” yang hingga kini masih mempengaruhi strategi militer Indonesia, adalah buah pikirannya yang berdasarkan pada pengalaman-pengalamannya dalam Revolusi. Pemikiran ini dituang dalam, antara lain, bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Perang Gerilya (The Fundamentals of Guerrilla Warfare). Buku ini diterjemahkan ke banyak bahasa di dunia, dan menjadi salah satu buku penting dalam teori perang gerilya, menempatkan Nasution bersama pada ahli gerilya dunia seperti Caldwell, Mao Zedong, dan Vo Nguyen Giap. Kedua, Nasution dikenal sebagai pemikir utama dibalik konsep “fungsi sosial-politik” tentara di Indonesia. Konsep ini pertama dilantunkan oleh Nasution pada pidatonya dalam Hari Angkatan Perang tahun 1963, dimana ia menyatakan bahwa “angkatan perang tidak boleh mendominasi proses politik maupun menjadi ‘alat mati’ di tangan pemerintah sipil” (Jenkins, 2010: 258). Tiga tahun kemudian, konsep “Jalan Tengah” menjadi cikal bakal “Dwifungsi ABRI” yang menjadi soko guru kekuatan politik Orde Baru.Lahir pada 3 Desember 1918 di Kotanopan, Sumatera Utara (Who's Who in Indonesia, 1971: 250). Nasution awalnya berniat untuk menjadi guru. Pada masa mudanya, ia bersekolah di Algemene Middelbare School (AMS) Bandung. Saat Nazi Jerman menginvasi Belanda pada Mei 1940, Belanda menutup Akademi Militer Kerajaan di Breda dan membuka cabangnya di Bandung. Nasution sendiri awalnya berniat untuk mendaftar sebagai kadet perwira di Breda (Nasution, 1982: 32). Namun setelah Belanda jatuh, pemerintah Belanda kemudian membuka Korps Pendidikan Perwira Cadangan (Corps Opleiding Reserve Officieren/CORO) yang terbuka untuk sejumlah perwira pribumi. Nasution diterima sebagai kadet CORO pada 1940 dan menjadi Letnan Dua dalam tentara kolonial Belanda (Koninklijk Nederlands Indische Leger, KNIL). Pada masa-masanya di Bandung, Nasution bertemu dengan istrinya, Johanna Sunarti Nasution (1923-2010), yang merupakan anak dari R.P. Sunario Gondokusumo, aktivis politik dari Partai Indonesia Raya (Parindra), golongan nasionalis kooperatif yang mendukung kerjasama dengan Belanda (Turner, 2018: 19). Pertemuan Nasution dengan keluarga Gondokusumo ini menjadi signifikan, karena kala itulah, untuk pertama kalinya Nasution terekspos dengan dunia politik (Turner, 2018: 6). Saat Jepang menginvasi Hindia Belanda pada 1942, Nasution dan unitnya ditempatkan di Jawa Timur. Pada saat itulah Nasution memutuskan untuk desersi dan meninggalkan unit KNIL-nya (Nasution, 1982: 82 -84). Momen ini penting bagi pemikiran politik seorang Nasution, karena sejak saat ini ia telah memutuskan hubungannya dengan pihak kolonial (i.e. KNIL), dan lebih memilih untuk mendukung Indonesia merdeka nantinya (Turner, 2018: 38 - 39). Nasution kemudian kabur ke Bandung, dimana ia ditampung oleh calon mertuanya, Sunario Gondokusumo. Ia kemudian sempat menjadi pengurus Barisan Pemuda Priangan pada masa Jepang, yang kemudian dibubarkan saat pemerintah militer Jepang mendirikan Seinendan (Nasution, 1982: 41). Meskipun Nasution tidak mendaftarkan diri dalam pasukan Pembela Tanah Air (PETA) buatan Jepang, ia menjalin hubungan baik dengan para perwira Indonesia yang dididik di dalam PETA (Turner, 2018: 42). Hal ini mempengaruhi peranan Nasution dalam Revolusi Nasional Indonesia (1945-1949) di masa mendatang.#gofhistory #fypシ゚viral #g30spki #jendral #nasution

About