@.dr.miaw: #ريتا_حرب #قسمة_ونصيب #قسمه_ونصيب #صديقه #روشين #برنامج_قسمة_و_نصيب #اكسبلوووور #مصر #العراق #سوريا #الاردن #ليبيا #الجزائر #موريتانيا #السعودية #الكويت #الامارات #دبي #جيهان_داني #لارا_حسين #فرح_احمد #لبنان #أدهم_ندى #ندى_أدهم #اكسبلور #viral #بريطانيا #fyp

⚡️dr.miaw⚡️
⚡️dr.miaw⚡️
Open In TikTok:
Region: DE
Wednesday 26 June 2024 18:06:02 GMT
11532
297
12
13

Music

Download

Comments

soulaf519
amina 🇩🇿🇵🇸🇩🇿 :
😂😂😂😂نظرات حسين لفرح😂😂
2024-06-26 19:30:56
15
celyaa13
رو رو 🎀 :
يالااااااا حبيبوووووو😂😂😂😂😂
2024-06-26 22:06:03
4
mimi1224.2
mimi loli :
الا فرح لا تتحداها🥰🥰
2024-06-26 21:27:53
3
lllm10
🍃 :
احبببها😂😂😂😂😂❤️❤️
2024-06-28 07:21:27
1
i.sm.a.i.l
Ismail :
عصبته 😂😂 برافو فرح
2024-06-26 22:21:04
1
miaelidrissi
miaelidrissi :
المهم كلشي حبيبو صديق الحبيب العدو… 😂😂
2024-06-26 19:32:15
1
celyaa13
رو رو 🎀 :
😂😂😂😂😂
2024-06-26 22:05:44
0
To see more videos from user @.dr.miaw, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

Masa kecil Pierre banyak dihabiskan dengan berpindah-pindah kota mengikuti tempat dinas A.L. Tendean yang berprofesi sebagai dokter spesialis jiwa/psikiatri. Setahun setelah Pierre lahir, keluarga Tendean pindah ke Tasikmalaya, kota kecil yang berada di bagian tenggara Jawa Barat. Sang ayah mendapat penugasan untuk membantu memberantas penyakit malaria yang saat itu tengah menjadi wabah. Tidak lama bertugas di Tasikmalaya, A.L. Tendean jatuh sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Setelah sembuh, A.L. Tendean memutuskan untuk tetap tinggal dan bekerja di rumah sakit ini. Sewaktu tinggal di Cisarua inilah, Mitzi menyimpan kenangan paling indah bersama Pierre. Rumah dinas yang mereka tempati terasa sangat menyenangkan karena dikelilingi gunung, sawah, dengan halaman luas yang banyak ditumbuhi pohon murbei dan ceri. Saat padi menguning dan musim panen tiba, Mitzi dan Pierre selalu bermain di sawah dan membuat sempritan dari batang padi yang sudah dipotong. Ibunda mereka, Maria Elizabeth Tendean, pun rajin menanami halaman rumah yang luas itu dengan aneka macam bunga sehingga rumah yang sederhana itu menjadi makin nyaman dan sejuk. Masa-masa ini mereka jalani hingga usia Pierre mencapai 3 tahun, sebelum sebuah petualangan baru menanti keluarga Tendean di Magelang, Jawa Tengah. Sesaat sebelum tentara Kekaisaran Jepang datang ke Hindia Belanda sekitar tahun 1942, keluarga Tendean pindah ke Magelang karena A.L. Tendean mendapatkan penugasan sebagai dokter dan sekaligus dipercaya untuk menjadi wakil direktur di Rumah Sakit Jiwa Keramat, Magelang. Rumah sakit ini terletak 4 kilometer dari pusat Kota Magelang, di tepi jalan raya yang menghubungkan Yogyakarta, Semarang, dan Purworejo. Letak rumah sakit ini sangat strategis karena dikelilingi Gunung Merapi, Merbabu, Andong, dan Telomoyo di sebelah timur, Gunung Ungaran di wilayah utara, Gunung Sumbing dan Menoreh di sebelah barat, dan Bukit Tidar di bagian selatan. Rumah keluarga Tendean masih menjadi bagian dari kompleks Rumah Sakit Jiwa Keramat. Suasana rumah di Magelang ini sedikit banyak mirip seperti rumah di Cisarua dengan adanya Gunung Sumbing sebagai latar belakang rumah. Rumah di Magelang ini juga menjadi saksi kelahiran Roos, anak ketiga keluarga Tendean sekaligus adik Pierre. Menurut Mitzi, masuknya Jepang membuat kehidupan menjadi semakin sulit. Karena pengaruh dan krisis Perang Dunia II, bahan makanan, terutama beras, menjadi sangat mahal. Keluarga Tendean yang selama ini hidup berkecukupan turut merasakan makan gaplek atau tiwul. Meskipun saat itu keadaan demikian sulit, Tendean bersaudara tentu saja belum mengerti situasi yang tengah terjadi. Menikmati masa kanak-kanak di Magelang, Pierre kecil dan kedua saudara perempuannya kerap bermain layaknya anak-anak seusianya. Mereka acap kali bermain perahu sampai berkubang di lumpur, piknik ke kebun kopi milik rumah sakit, dan mandi di pancuran. Pierre juga hobi bermain layangan. la membuat sendiri benang layangannya dari gelas kaca, yang dijemurnya di pekarangan rumah. Berbagai permainan tradisional juga menjadi penghias masa kecilnya, layaknya anak laki-laki seusianya. Permainan kelereng juga menjadi salah satu permainan favoritnya saat itu. Pierre kecil mengisi masa kecilnya dengan belajar berenang di sebuah sungai kecil yang terdapat di sekitar rumah mereka, meski kedua orang tuanya sudah melarang kegiatan ini karena airnya berwarna cokelat dan kotor. Semakin dilarang, Pierre justru semakin tidak mau meninggalkan sungai. Tak jarang Pierre mendapatkan hukuman disiplin dari ayahnya yang memiliki prinsip keras dalam metode mendidik anak. Kenakalan Pierre ini sebenarnya memiliki hal positif karena kelak kemahirannya berenang di alam bebas membantu dirinya menyelamatkan diri ketika ambil bagian dalam Operasi Dwikora. Tidak hanya Pierre, kedua saudarinya pun terhitung kenyang merasakan pendidikan disiplin dari sang ayah jika melanggar aturan.
Masa kecil Pierre banyak dihabiskan dengan berpindah-pindah kota mengikuti tempat dinas A.L. Tendean yang berprofesi sebagai dokter spesialis jiwa/psikiatri. Setahun setelah Pierre lahir, keluarga Tendean pindah ke Tasikmalaya, kota kecil yang berada di bagian tenggara Jawa Barat. Sang ayah mendapat penugasan untuk membantu memberantas penyakit malaria yang saat itu tengah menjadi wabah. Tidak lama bertugas di Tasikmalaya, A.L. Tendean jatuh sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Setelah sembuh, A.L. Tendean memutuskan untuk tetap tinggal dan bekerja di rumah sakit ini. Sewaktu tinggal di Cisarua inilah, Mitzi menyimpan kenangan paling indah bersama Pierre. Rumah dinas yang mereka tempati terasa sangat menyenangkan karena dikelilingi gunung, sawah, dengan halaman luas yang banyak ditumbuhi pohon murbei dan ceri. Saat padi menguning dan musim panen tiba, Mitzi dan Pierre selalu bermain di sawah dan membuat sempritan dari batang padi yang sudah dipotong. Ibunda mereka, Maria Elizabeth Tendean, pun rajin menanami halaman rumah yang luas itu dengan aneka macam bunga sehingga rumah yang sederhana itu menjadi makin nyaman dan sejuk. Masa-masa ini mereka jalani hingga usia Pierre mencapai 3 tahun, sebelum sebuah petualangan baru menanti keluarga Tendean di Magelang, Jawa Tengah. Sesaat sebelum tentara Kekaisaran Jepang datang ke Hindia Belanda sekitar tahun 1942, keluarga Tendean pindah ke Magelang karena A.L. Tendean mendapatkan penugasan sebagai dokter dan sekaligus dipercaya untuk menjadi wakil direktur di Rumah Sakit Jiwa Keramat, Magelang. Rumah sakit ini terletak 4 kilometer dari pusat Kota Magelang, di tepi jalan raya yang menghubungkan Yogyakarta, Semarang, dan Purworejo. Letak rumah sakit ini sangat strategis karena dikelilingi Gunung Merapi, Merbabu, Andong, dan Telomoyo di sebelah timur, Gunung Ungaran di wilayah utara, Gunung Sumbing dan Menoreh di sebelah barat, dan Bukit Tidar di bagian selatan. Rumah keluarga Tendean masih menjadi bagian dari kompleks Rumah Sakit Jiwa Keramat. Suasana rumah di Magelang ini sedikit banyak mirip seperti rumah di Cisarua dengan adanya Gunung Sumbing sebagai latar belakang rumah. Rumah di Magelang ini juga menjadi saksi kelahiran Roos, anak ketiga keluarga Tendean sekaligus adik Pierre. Menurut Mitzi, masuknya Jepang membuat kehidupan menjadi semakin sulit. Karena pengaruh dan krisis Perang Dunia II, bahan makanan, terutama beras, menjadi sangat mahal. Keluarga Tendean yang selama ini hidup berkecukupan turut merasakan makan gaplek atau tiwul. Meskipun saat itu keadaan demikian sulit, Tendean bersaudara tentu saja belum mengerti situasi yang tengah terjadi. Menikmati masa kanak-kanak di Magelang, Pierre kecil dan kedua saudara perempuannya kerap bermain layaknya anak-anak seusianya. Mereka acap kali bermain perahu sampai berkubang di lumpur, piknik ke kebun kopi milik rumah sakit, dan mandi di pancuran. Pierre juga hobi bermain layangan. la membuat sendiri benang layangannya dari gelas kaca, yang dijemurnya di pekarangan rumah. Berbagai permainan tradisional juga menjadi penghias masa kecilnya, layaknya anak laki-laki seusianya. Permainan kelereng juga menjadi salah satu permainan favoritnya saat itu. Pierre kecil mengisi masa kecilnya dengan belajar berenang di sebuah sungai kecil yang terdapat di sekitar rumah mereka, meski kedua orang tuanya sudah melarang kegiatan ini karena airnya berwarna cokelat dan kotor. Semakin dilarang, Pierre justru semakin tidak mau meninggalkan sungai. Tak jarang Pierre mendapatkan hukuman disiplin dari ayahnya yang memiliki prinsip keras dalam metode mendidik anak. Kenakalan Pierre ini sebenarnya memiliki hal positif karena kelak kemahirannya berenang di alam bebas membantu dirinya menyelamatkan diri ketika ambil bagian dalam Operasi Dwikora. Tidak hanya Pierre, kedua saudarinya pun terhitung kenyang merasakan pendidikan disiplin dari sang ayah jika melanggar aturan.

About