@theheraldmage: Nano Towels Stainless Steel Cleaner | The Amazing Chemical Free Stainless Steel Cleaning Reusable Wipe Cloth | Kid & Pet Safe 1 7x16 (1 pc) Anti-grease Kitchen Household Glass Microfiber Smooth #nanotowel #nanotowelstainlessstealcleaner #nanolon #nanolonweave #falldealsforyou #christmasgiftidea #stockingstuffer #tiktoksale

James’s Deals
James’s Deals
Open In TikTok:
Region: US
Tuesday 24 September 2024 13:01:53 GMT
470
5
6
0

Music

Download

Comments

maddielovestaylorandgod
maddielovestaylorandgod :
First
2024-09-24 13:12:34
1
james.viral.finds
DealsByJames :
🥰🥰🥰
2024-10-06 21:48:03
0
esme.la.chapina.502
Esme.la.chapina.502🩵🩵 :
Wow your kitchen is shining
2024-09-25 01:16:01
0
kels77777
kels77777 :
🥰🥰🥰
2024-09-24 14:58:29
0
To see more videos from user @theheraldmage, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

Pati bukan sekadar kabupaten. Ia adalah awal dari sebuah retakan yang tak terdengar, tapi terasa. Di sana, rakyat bergerak bukan karena angka pajak, melainkan karena kalimat yang menantang: “Kalau tidak terima, turun ke jalan.” Maka rakyat pun turun, bukan sebagai massa, melainkan sebagai makna yang lama diabaikan. Mereka tidak membawa senjata, hanya tubuh yang lelah dan suara yang selama ini dibungkam oleh protokol. Namun Pati hanyalah alinea pembuka dari naskah panjang tentang kekuasaan yang kian kehilangan malu. Di pusat, gema itu terulang. Seorang menteri menyebut guru sebagai beban negara, seolah pengetahuan adalah utang, bukan cahaya. Seorang pejabat bicara tentang tanah yang bukan milikmu, seolah tubuh petani tak pernah menyatu dengan bumi. Seorang wakil rakyat menyebut tolol mereka yang ingin membubarkan DPR, seolah kritik adalah ancaman, bukan keberanian. Ucapan-ucapan itu bukan serpihan, melainkan pola. Pola kekuasaan yang berbicara dari atas, bukan dari dalam. Pola yang melihat rakyat sebagai objek, bukan subjek. Dan ketika pola itu berulang, tubuh rakyat pun mulai menjawab. Seperti Affan, pengemudi ojek online yang tubuhnya hancur di bawah kendaraan taktis. Ia bukan demonstran, hanya tubuh biasa yang tak sempat menghindar dari negara yang sedang mempertahankan dirinya sendiri. Negara, dalam bentuk terdalamnya, seharusnya adalah bahasa: bahasa yang merangkul, bukan menghardik; bahasa yang menghidupkan, bukan melukai. Tetapi ketika bahasa berubah menjadi senjata, rakyat berhenti mendengar—mereka hanya merasakan. Dan rasa yang diabaikan, lambat laun menjelma gerakan. Bukan untuk menggulingkan, melainkan untuk mengingatkan. Filsafat tidak lahir dari podium. Ia tumbuh dari luka yang dimengerti, dari tubuh yang tak sempat bersuara. Jika negara sungguh ingin kembali menjadi rumah, ia harus berani mengucapkan kalimat yang jujur. Bukan kalimat yang menyelamatkan citra, melainkan kalimat yang membuka luka. Sebab hanya luka yang terbuka yang bisa dirawat, dan hanya luka yang dirawat yang bisa pulih. Pati adalah awal. Jakarta adalah gema. Dan jika kita tak belajar dari bahasa, maka tubuhlah yang akan terus bicara—dengan diam, dengan gerakan, dengan kehilangan yang bahkan tak sempat diberi nama. Pada saat itu, negara tidak lagi gagal menjadi kata; ia telah gagal menjadi rumah. #filosofi #filsafat #refleksi #renungan #bergerak
Pati bukan sekadar kabupaten. Ia adalah awal dari sebuah retakan yang tak terdengar, tapi terasa. Di sana, rakyat bergerak bukan karena angka pajak, melainkan karena kalimat yang menantang: “Kalau tidak terima, turun ke jalan.” Maka rakyat pun turun, bukan sebagai massa, melainkan sebagai makna yang lama diabaikan. Mereka tidak membawa senjata, hanya tubuh yang lelah dan suara yang selama ini dibungkam oleh protokol. Namun Pati hanyalah alinea pembuka dari naskah panjang tentang kekuasaan yang kian kehilangan malu. Di pusat, gema itu terulang. Seorang menteri menyebut guru sebagai beban negara, seolah pengetahuan adalah utang, bukan cahaya. Seorang pejabat bicara tentang tanah yang bukan milikmu, seolah tubuh petani tak pernah menyatu dengan bumi. Seorang wakil rakyat menyebut tolol mereka yang ingin membubarkan DPR, seolah kritik adalah ancaman, bukan keberanian. Ucapan-ucapan itu bukan serpihan, melainkan pola. Pola kekuasaan yang berbicara dari atas, bukan dari dalam. Pola yang melihat rakyat sebagai objek, bukan subjek. Dan ketika pola itu berulang, tubuh rakyat pun mulai menjawab. Seperti Affan, pengemudi ojek online yang tubuhnya hancur di bawah kendaraan taktis. Ia bukan demonstran, hanya tubuh biasa yang tak sempat menghindar dari negara yang sedang mempertahankan dirinya sendiri. Negara, dalam bentuk terdalamnya, seharusnya adalah bahasa: bahasa yang merangkul, bukan menghardik; bahasa yang menghidupkan, bukan melukai. Tetapi ketika bahasa berubah menjadi senjata, rakyat berhenti mendengar—mereka hanya merasakan. Dan rasa yang diabaikan, lambat laun menjelma gerakan. Bukan untuk menggulingkan, melainkan untuk mengingatkan. Filsafat tidak lahir dari podium. Ia tumbuh dari luka yang dimengerti, dari tubuh yang tak sempat bersuara. Jika negara sungguh ingin kembali menjadi rumah, ia harus berani mengucapkan kalimat yang jujur. Bukan kalimat yang menyelamatkan citra, melainkan kalimat yang membuka luka. Sebab hanya luka yang terbuka yang bisa dirawat, dan hanya luka yang dirawat yang bisa pulih. Pati adalah awal. Jakarta adalah gema. Dan jika kita tak belajar dari bahasa, maka tubuhlah yang akan terus bicara—dengan diam, dengan gerakan, dengan kehilangan yang bahkan tak sempat diberi nama. Pada saat itu, negara tidak lagi gagal menjadi kata; ia telah gagal menjadi rumah. #filosofi #filsafat #refleksi #renungan #bergerak

About