@dymegyrl34: My Sons Reaction to seeing Chicken Feet for the first time! 😂😂😂 #viralvideos #chickenfeet #fyp #funnyvideo

Dyme Gyrl
Dyme Gyrl
Open In TikTok:
Region: US
Sunday 06 October 2024 19:09:39 GMT
9352
231
9
15

Music

Download

Comments

7thwardkkutta
7thwardkkutta :
I never ate that shit Eva and I'm 40
2024-10-06 21:19:53
4
larrydavis023
Larry :
😂😂😂😂
2024-10-06 20:07:26
2
muwop46
Harry otf :
😂😂
2024-10-07 09:38:57
1
xoxodancegirl2
Your month your?!❤️‍🔥 :
😂😂😂
2024-12-20 21:14:10
0
ebonygoldman
❤️💘EBONY❤️💘 :
😂😂😂
2024-12-20 01:40:01
0
amir2litz
Amir Smith :
😂😂😂😂😂😂
2025-01-24 03:14:01
0
To see more videos from user @dymegyrl34, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

POV: Kamu dan Jay. Dua nama yang tidak pernah sengaja disandingkan, tapi selalu muncul bersamaan—di grafik nilai, di pengumuman lomba, di belakang buku absen. Pesaing yang terlalu mirip untuk saling benci, terlalu jauh untuk jadi dekat. Kalian tidak akrab. Tapi saling tahu. Jay tahu kamu mencatat dengan tinta biru dan garis bawah abu-abu. Kamu tahu Jay membaca dengan tangan kiri menyangga pelipis. Dan kalian berdua tahu, hanya ada satu kursi untuk program pertukaran pelajar ke Seoul. ——— Kamu berdiri di depan papan itu, menatap satu nama di paling atas. Namamu. Bold. Tegas. Final. Jay tiba beberapa detik kemudian. Ia membaca sebentar. Menarik napas.  Kemudian berkata tanpa menoleh “Selamat.” Tidak lebih. Tidak kurang. Kamu menoleh, menunggu sesuatu. Penjelasan, mungkin. Sedikit kejengkelan. Tapi yang kamu dapat hanya kalimat ini, lirih tapi rapi “Kalau yang dapat bukan gue, ya memang seharusnya lo.”  ——— Beberapa hari kemudian, kalian sama-sama mendapat tugas dari guru untuk mengumpulkan data ulangan. Kamu dan Jay duduk bersebelahan. Sama-sama sibuk, tapi kamu tahu dia sadar kamu di situ. Jay ngetik sebentar, terus nyeletuk “Gue baca berita… ternyata orang yang habis menang besar, suka ngerasa kosong.” Kamu lirik dia, nahan ketawa. “Itu kode?” Dia ngedik pelan, santai banget “Bisa jadi. Bisa juga cuma observasi. Lo yang milih.” Kamu balik ngetik, berusaha menghiraukannya. Tapi 20 detik kemudian dia lanjut “Gue masih kesel sih. Tapi mostly kesel ke diri sendiri.” “Kenapa?” tanya kamu. “Karena dari semua kemungkinan yang gue pikirin—gue gak pernah mikir kalau ternyata gue lebih takut lo pergi, daripada gue kalah.” Kamu diam. Lalu jawab pelan, “Lo kebanyakan baca puisi ya?” Jay senyum tipis. “Enggak. Gue kebanyakan liatin lo, kayaknya.” ——— Malam sebelum keberangkatan, koper kamu masih terbuka setengah. Isinya random, bahkan masih banyak barang penting yang belum kamu masukkan. Tapi atensimu pindah ke handphone saat notifikasi masuk. Nama pengirimnya: Jay. Jay: “Lo udah ngecek suhu di Seoul? Jangan sampe mati gaya cuma gara-gara jaket lo ketipisan.” Kamu geleng pelan, lalu balas “Gue pikir lo bakal ngucapin ‘semangat’ kayak orang normal.” “Gue nggak pernah daftar jadi orang normal.”  Setelah jeda beberapa menit, notifikasi lain masuk. “Lo tau nggak? dari semua yang gue pelajari selama proses seleksi kemarin, yang paling susah itu bukan bikin esai atau nyiapin wawancara,” kamu masih terdiam membaca pesan itu, membiarkan Jay melanjutkan apa yang ingin disampaikannya. “Yang paling susah itu nerima kenyataan kalau lo beneran pergi. Bukan karena gue gak rela, tapi karena gue baru sadar… selama ini, gue selalu ngikutin lo, tanpa sadar.” tambahnya Kamu gak langsung balas. Karena kamu juga, agak sesak bacanya. Kamu tarik napas, lalu ngetik, “Gue pergi bukan buat ninggalin, Jay.” “Gue tahu. Tapi ada bagian dari gue yang pengen lo temuin di tempat baru. Supaya nanti pas lo balik, lo gak sekadar pulang, lo ngerti kenapa harus balik ke gue.” ——— Di Bandara, Jay muncul. Lagi-lagi tanpa aba-aba. Kamu bahkan belum sempat narik koper keluar dari mobil, dia udah berdiri di samping kamu. “Gue cuma mau pastiin, lo gak lupa satu hal.” Kamu ngangkat alis. “Apa?” Dia nyodorin buku kecil. Abu-abu. Kosong. Tapi kamu tahu, pasti ada sesuatu di dalamnya. “Buat nyatet hal-hal penting. Tapi bukan tentang sekolah, kampus, atau deadline.” “Buat nyatet hal-hal yang bikin lo pengen pulang.” Kamu buka halaman pertama. Tulisannya: “Kalau lo ngerasa sendirian, buka halaman terakhir.” Kamu langsung buka. Dan di sana, dengan tulisan tangan yang nggak serapi biasanya: ‘Gue gak bisa ikut lo ke sana. Tapi kalau lo balik dan gue masih di sini, itu bukan kebetulan.’ ‘Itu karena gue nunggu.’ Kamu menutup bukunya pelan. “Lo yakin gue bakal balik?” Jay senyum, tajam tapi tenang. Lanjut di comsect— #pov #jay #parkjongseong #enhypen #fypシ
POV: Kamu dan Jay. Dua nama yang tidak pernah sengaja disandingkan, tapi selalu muncul bersamaan—di grafik nilai, di pengumuman lomba, di belakang buku absen. Pesaing yang terlalu mirip untuk saling benci, terlalu jauh untuk jadi dekat. Kalian tidak akrab. Tapi saling tahu. Jay tahu kamu mencatat dengan tinta biru dan garis bawah abu-abu. Kamu tahu Jay membaca dengan tangan kiri menyangga pelipis. Dan kalian berdua tahu, hanya ada satu kursi untuk program pertukaran pelajar ke Seoul. ——— Kamu berdiri di depan papan itu, menatap satu nama di paling atas. Namamu. Bold. Tegas. Final. Jay tiba beberapa detik kemudian. Ia membaca sebentar. Menarik napas. Kemudian berkata tanpa menoleh “Selamat.” Tidak lebih. Tidak kurang. Kamu menoleh, menunggu sesuatu. Penjelasan, mungkin. Sedikit kejengkelan. Tapi yang kamu dapat hanya kalimat ini, lirih tapi rapi “Kalau yang dapat bukan gue, ya memang seharusnya lo.” ——— Beberapa hari kemudian, kalian sama-sama mendapat tugas dari guru untuk mengumpulkan data ulangan. Kamu dan Jay duduk bersebelahan. Sama-sama sibuk, tapi kamu tahu dia sadar kamu di situ. Jay ngetik sebentar, terus nyeletuk “Gue baca berita… ternyata orang yang habis menang besar, suka ngerasa kosong.” Kamu lirik dia, nahan ketawa. “Itu kode?” Dia ngedik pelan, santai banget “Bisa jadi. Bisa juga cuma observasi. Lo yang milih.” Kamu balik ngetik, berusaha menghiraukannya. Tapi 20 detik kemudian dia lanjut “Gue masih kesel sih. Tapi mostly kesel ke diri sendiri.” “Kenapa?” tanya kamu. “Karena dari semua kemungkinan yang gue pikirin—gue gak pernah mikir kalau ternyata gue lebih takut lo pergi, daripada gue kalah.” Kamu diam. Lalu jawab pelan, “Lo kebanyakan baca puisi ya?” Jay senyum tipis. “Enggak. Gue kebanyakan liatin lo, kayaknya.” ——— Malam sebelum keberangkatan, koper kamu masih terbuka setengah. Isinya random, bahkan masih banyak barang penting yang belum kamu masukkan. Tapi atensimu pindah ke handphone saat notifikasi masuk. Nama pengirimnya: Jay. Jay: “Lo udah ngecek suhu di Seoul? Jangan sampe mati gaya cuma gara-gara jaket lo ketipisan.” Kamu geleng pelan, lalu balas “Gue pikir lo bakal ngucapin ‘semangat’ kayak orang normal.” “Gue nggak pernah daftar jadi orang normal.” Setelah jeda beberapa menit, notifikasi lain masuk. “Lo tau nggak? dari semua yang gue pelajari selama proses seleksi kemarin, yang paling susah itu bukan bikin esai atau nyiapin wawancara,” kamu masih terdiam membaca pesan itu, membiarkan Jay melanjutkan apa yang ingin disampaikannya. “Yang paling susah itu nerima kenyataan kalau lo beneran pergi. Bukan karena gue gak rela, tapi karena gue baru sadar… selama ini, gue selalu ngikutin lo, tanpa sadar.” tambahnya Kamu gak langsung balas. Karena kamu juga, agak sesak bacanya. Kamu tarik napas, lalu ngetik, “Gue pergi bukan buat ninggalin, Jay.” “Gue tahu. Tapi ada bagian dari gue yang pengen lo temuin di tempat baru. Supaya nanti pas lo balik, lo gak sekadar pulang, lo ngerti kenapa harus balik ke gue.” ——— Di Bandara, Jay muncul. Lagi-lagi tanpa aba-aba. Kamu bahkan belum sempat narik koper keluar dari mobil, dia udah berdiri di samping kamu. “Gue cuma mau pastiin, lo gak lupa satu hal.” Kamu ngangkat alis. “Apa?” Dia nyodorin buku kecil. Abu-abu. Kosong. Tapi kamu tahu, pasti ada sesuatu di dalamnya. “Buat nyatet hal-hal penting. Tapi bukan tentang sekolah, kampus, atau deadline.” “Buat nyatet hal-hal yang bikin lo pengen pulang.” Kamu buka halaman pertama. Tulisannya: “Kalau lo ngerasa sendirian, buka halaman terakhir.” Kamu langsung buka. Dan di sana, dengan tulisan tangan yang nggak serapi biasanya: ‘Gue gak bisa ikut lo ke sana. Tapi kalau lo balik dan gue masih di sini, itu bukan kebetulan.’ ‘Itu karena gue nunggu.’ Kamu menutup bukunya pelan. “Lo yakin gue bakal balik?” Jay senyum, tajam tapi tenang. Lanjut di comsect— #pov #jay #parkjongseong #enhypen #fypシ

About