@oumlvadli07: #teyarett #visitatar #mauritanie🇲🇷 #adrar🌴

Oum lvadli
Oum lvadli
Open In TikTok:
Region: MR
Tuesday 05 August 2025 15:56:58 GMT
2641
251
16
12

Music

Download

Comments

eleminyahya
Med lemin :
ذ اليوم
2025-08-05 16:06:12
0
mstph.hm
Môûstàphà Hàmàďî :
اسكي
2025-08-06 09:39:30
0
user5654146107698
Soukhena :
😊naser lk 5ti
2025-08-05 18:33:47
0
vaamos2
vadl :
يوكي لأرض الكرم
2025-08-05 21:13:39
0
c_ronal7
ثورفيـــن🐐 :
تيارت✨
2025-08-05 21:10:54
0
elhadj_aheimed
El Hadj Aheimed :
🥰🥰🥰
2025-08-05 16:54:04
1
leroichris
Leroi Chris :
🥰
2025-08-05 16:13:57
1
mascan.07
Mascan.07 :
😍😍😍
2025-08-05 16:01:54
1
salekdahdi
wel chmsdin :
♥️♥️♥️
2025-08-22 15:03:57
0
.45moh
𝑹𝑬𝑺𝑷𝑬𝑪𝑻~🇲🇷 :
❤️❤️❤️❤️
2025-08-09 00:22:48
0
mbeirickmedmahmoud
mbeirickmedmahmou :
🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰
2025-08-08 12:42:09
0
saad.hamidi
Saad/hamidi :
❤️❤️❤️❤️
2025-08-05 21:20:43
0
mbarek...knta
mbarek Knta :
❤❤❤❤
2025-08-05 19:47:07
0
dahsidialidah
dahsidialidah :
🥰🥰🥰
2025-08-05 19:22:53
0
To see more videos from user @oumlvadli07, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

Azan ke-7515 di Cakrawala Tarim Sudah 7515 kali azan berkumandang di atas langit Tarim—sejak aku tiba di kota ini. Lima kali sehari, selama 1503 hari. Dan entah mengapa, dari ribuan panggilan itu, belum juga seluruhnya menggugah jiwa ini seperti mestinya. Toa-toa tua di menara masjid tak pernah lalai. Suara azan Nawa naik menembus cakrawala, menyentuh lembah, menyelinap ke jendela-jendela rumah, mengetuk hati siapa pun yang mendengarnya. Tapi tidak semua hati siap dibuka. Termasuk hatiku. Aku menyaksikan sendiri bagaimana warga Tarim datang ke masjid bahkan sebelum azan dikumandangkan. Mereka tak menunggu panggilan; mereka menjemputnya. Seolah waktu shalat bukan sekadar kewajiban, tapi kerinduan. Sementara aku, masih saja terbangun oleh ketukan Zobit Salim di pintu kamar. Setiap subuh, dengan suara sabar, “Sholah, Sholah” ia memanggil kami satu per satu, seperti menggiring anak-anak yang lupa arah pulang. Sampai kapan begini? Iman mereka terasa kokoh, seperti pegunungan Ahgaff Hadhramaut yang mengelilingi kota ini. Sedang aku, bahkan seringkali harus bertengkar dengan rasa malas sendiri. Sungguh timpang. Sungguh memalukan. Di tengah kegamangan itu, bayangan kakekku muncul dalam benak. Sudah 54 tahun ia menjadi muazzin di kampung kami di Aceh. Tak pernah bolong, tak pernah tawar-menawar dengan waktu. Dari usia muda sampai giginya tinggal satu, ia tetap berdiri di Menara Meunasah, mengumandangkan azan dengan suara yang mungkin sudah tak lantang, tapi penuh ketulusan. cucunya? Masih sibuk menawar-nawar waktu Tuhan. Aku malu. Namun, Allah Maha Lembut dalam menegur. Suatu fajar yang dingin, seorang muazzin Muda di Tarim memintaku membantunya mengumandangkan azan. Bukan karena aku layak. Tapi mungkin karena Allah ingin mengingatkanku. Saat itu, saat tanganku memegang mikrofon dan kalimat Allahu Akbar keluar dari mulutku — hati ini seperti diguncang. Ada gemetar yang tak bisa dijelaskan. Ada haru yang lama tertahan. Seolah aku baru benar-benar mendengar azan untuk pertama kalinya — dari diriku sendiri. Itu menjadi titik balik kecil. Aku mulai teringat masa-masa di Pakistan, saat semangatku masih menyala, saat berlari ke masjid bukan karena takut dosa, tapi karena rindu yang meletup-letup. Abuya Baharun — guru mulia kami — pernah sering mengingatkan tentang Aib bagi penuntut ilmu, jika ia meninggalkan shalat berjamaah. Dan kini aku tahu, aku termasuk yang dimaksud beliau. Tapi aku tak mau terus begini. Aku percaya, akan datang satu hari — entah kapan — di mana aku akan menjadi seperti para kekasih Tuhan di Tarim. Datang ke masjid bukan karena panggilan azan, tapi karena hatiku telah terlebih dahulu dipanggil. Karena saat itu, cinta akan lebih nyaring daripada toa masjid mana pun. Tarim. Asar, 11 Juli 2028.
Azan ke-7515 di Cakrawala Tarim Sudah 7515 kali azan berkumandang di atas langit Tarim—sejak aku tiba di kota ini. Lima kali sehari, selama 1503 hari. Dan entah mengapa, dari ribuan panggilan itu, belum juga seluruhnya menggugah jiwa ini seperti mestinya. Toa-toa tua di menara masjid tak pernah lalai. Suara azan Nawa naik menembus cakrawala, menyentuh lembah, menyelinap ke jendela-jendela rumah, mengetuk hati siapa pun yang mendengarnya. Tapi tidak semua hati siap dibuka. Termasuk hatiku. Aku menyaksikan sendiri bagaimana warga Tarim datang ke masjid bahkan sebelum azan dikumandangkan. Mereka tak menunggu panggilan; mereka menjemputnya. Seolah waktu shalat bukan sekadar kewajiban, tapi kerinduan. Sementara aku, masih saja terbangun oleh ketukan Zobit Salim di pintu kamar. Setiap subuh, dengan suara sabar, “Sholah, Sholah” ia memanggil kami satu per satu, seperti menggiring anak-anak yang lupa arah pulang. Sampai kapan begini? Iman mereka terasa kokoh, seperti pegunungan Ahgaff Hadhramaut yang mengelilingi kota ini. Sedang aku, bahkan seringkali harus bertengkar dengan rasa malas sendiri. Sungguh timpang. Sungguh memalukan. Di tengah kegamangan itu, bayangan kakekku muncul dalam benak. Sudah 54 tahun ia menjadi muazzin di kampung kami di Aceh. Tak pernah bolong, tak pernah tawar-menawar dengan waktu. Dari usia muda sampai giginya tinggal satu, ia tetap berdiri di Menara Meunasah, mengumandangkan azan dengan suara yang mungkin sudah tak lantang, tapi penuh ketulusan. cucunya? Masih sibuk menawar-nawar waktu Tuhan. Aku malu. Namun, Allah Maha Lembut dalam menegur. Suatu fajar yang dingin, seorang muazzin Muda di Tarim memintaku membantunya mengumandangkan azan. Bukan karena aku layak. Tapi mungkin karena Allah ingin mengingatkanku. Saat itu, saat tanganku memegang mikrofon dan kalimat Allahu Akbar keluar dari mulutku — hati ini seperti diguncang. Ada gemetar yang tak bisa dijelaskan. Ada haru yang lama tertahan. Seolah aku baru benar-benar mendengar azan untuk pertama kalinya — dari diriku sendiri. Itu menjadi titik balik kecil. Aku mulai teringat masa-masa di Pakistan, saat semangatku masih menyala, saat berlari ke masjid bukan karena takut dosa, tapi karena rindu yang meletup-letup. Abuya Baharun — guru mulia kami — pernah sering mengingatkan tentang Aib bagi penuntut ilmu, jika ia meninggalkan shalat berjamaah. Dan kini aku tahu, aku termasuk yang dimaksud beliau. Tapi aku tak mau terus begini. Aku percaya, akan datang satu hari — entah kapan — di mana aku akan menjadi seperti para kekasih Tuhan di Tarim. Datang ke masjid bukan karena panggilan azan, tapi karena hatiku telah terlebih dahulu dipanggil. Karena saat itu, cinta akan lebih nyaring daripada toa masjid mana pun. Tarim. Asar, 11 Juli 2028.

About