Language
English
عربي
Tiếng Việt
русский
français
español
日本語
한글
Deutsch
हिन्दी
简体中文
繁體中文
Home
How To Use
Language
English
عربي
Tiếng Việt
русский
français
español
日本語
한글
Deutsch
हिन्दी
简体中文
繁體中文
Home
Detail
@taanz112:
Tanya
Open In TikTok:
Region: ZA
Wednesday 27 August 2025 08:47:09 GMT
87
10
0
0
Music
Download
No Watermark .mp4 (
0.52MB
)
No Watermark(HD) .mp4 (
0.52MB
)
Watermark .mp4 (
0.93MB
)
Music .mp3
Comments
There are no more comments for this video.
To see more videos from user @taanz112, please go to the Tikwm homepage.
Other Videos
Qual o melhor banco para deixar o seu dinheiro investindo? #dinheiro
#draftထဲကျန်နေသေးလို့ပါ😬✅ #ချစ်လားပြော🤪🦋🌸
#capcut #grenhornet#lebahhijau🐝🐝 #kenzo #hino500
hajer sundori may thakle o Patta Dito na .. r amr Jamai er moto Jamai paite vaggo lage ...😎👀🙃 #foryou #foryoupage #foryoupageofficiall #vairal #unfeezmyaccount
POV' Ruang sidang itu berbau campuran kayu tua dan kertas yang menguning. Tirai hijau tua menggantung di jendela tinggi, menahan cahaya sore yang masuk setengah hati. Udara di dalamnya terasa berat, seolah setiap tarikan napas ikut membawa beban yang tak terlihat. Amara duduk di kursi penggugat, jemarinya meremas ujung rok hitam hingga kusut. Di seberang, Elias bersandar sedikit, tatapannya jatuh ke meja. Tidak padanya. Ia tak berani. Atau mungkin tak sanggup. Tiga tahun terakhir melintas di kepala Amara seperti film bisu. Makan malam yang dihabiskan dengan diam, perdebatan yang tak pernah tuntas, tatapan yang hangat tapi tak pernah disertai keberanian untuk berdiri di sisinya. Mereka saling mencintai, itu tak pernah berubah. Tapi cinta yang tak diiringi keberpihakan hanyalah luka yang pelan-pelan membusuk. Elias terlalu tunduk pada keluarganya. Pada kata-kata tajam yang diarahkan padanya, pada pandangan merendahkan yang dibiarkan lewat begitu saja. Dan Amara… sudah terlalu lelah berdiri sendirian di tengah badai itu. Hakim menunduk, membaca berkas. “Apakah Saudara Elias Arkatama bersedia mengakhiri pernikahan ini sesuai permintaan penggugat?” Suara Elias pecah tipis, “Ya, Yang Mulia.” Amara menutup mata. Ada jeda yang menusuk di antara ‘ya’ itu dengan napasnya yang tercekat. “Apakah Saudari Amara Aracelia tetap pada keputusan untuk bercerai?” Dadanya seperti diremas, tapi bibirnya tetap bergerak. “Ya.” Palu diketuk sekali, dua kali, tiga kali. Suara itu bergema di kepalanya lebih keras daripada suara hujan di luar. “Dengan ini, pengadilan menyatakan… kalian resmi bercerai.” Elias mendongak sekilas. Mata mereka bertemu untuk pertama kalinya hari itu dan mungkin yang terakhir sebagai pasangan. Ada seribu kata yang ingin meluncur dari bibirnya, tapi semuanya berhenti di tenggorokan. Amara berdiri. Di balik gaun hitamnya, rahimnya menyimpan denyut halus yang bahkan Elias pun tak tahu. Nyawa kecil yang lahir dari malam-malam terakhir mereka sebelum semuanya runtuh. Sebab Amara tahu, jika Elias tahu, mereka mungkin akan mencoba kembali. Tapi kembali berarti kembali ke meja makan yang sama, menelan kata-kata yang sama, merasakan kesendirian yang sama. Ia melewati pintu sidang tanpa menoleh, mengusap perutnya sebentar. “Mulai hari ini, kita cuma berdua,” bisiknya nyaris tak terdengar. “Aku ga butuh orang lain untuk jaga kamu... bahkan ayahmu” * Hujan rintik sore itu membuat halaman TK sepi lebih cepat dari biasanya. Anak-anak berlarian menuju orang tua mereka, sepatu basah menginjak genangan. Di pojok, Isa berdiri sendirian, tas bergambar dinosaurus menggantung miring di bahunya. Matanya melirik ke arah minimarket di seberang jalan, lampunya terang, etalase kaca memajang deretan permen dan mainan kecil yang selalu memikatnya. Guru yang bertugas menjaga gerbang sibuk mengangkat telepon, punggungnya membelakangi Isa. Bocah itu menunduk, mengencangkan pegangan pada tali tasnya, lalu melangkah keluar gerbang. Isa menunggu sebentar di tepi jalan. Mobil-mobil lewat, percikan air membasahi celananya. Saat ada celah, ia berlari kecil—dan tak sempat melihat motor melaju dari arah kanan. Bunyi rem berdecit, teriakan singkat, lalu tubuh mungil itu terjatuh ke aspal. Dari minimarket, Elias baru saja keluar, kantong plastik berisi kopi kaleng dan roti di tangan. Sekilas pandangnya menangkap sosok kecil yang tergeletak di jalan. Kantongnya terlepas, roti menggelinding, tapi ia tak peduli. “Ya Tuhan!” Elias menerobos kerumunan yang mulai terbentuk. Ia jongkok, menyentuh pelipis anak itu yang berdarah tipis. Napas bocah itu terputus-putus, matanya berkaca-kaca. “Bantu buka jalan! Saya bawa dia ke rumah sakit!” teriak Elias, suaranya mengalahkan hujan. Dengan hati-hati ia mengangkat tubuh kecil itu ke pelukannya, berlari menuju mobil. Sirene ambulance tidak terdengar, dan Elias tak mau menunggu. Di perjalanan, ia terus berbicara, meski bocah itu hanya meringis pelan. “Tahan sedikit lagi, Nak… kita hampir sampai.' (comsect) #heeseung #enhypen #pov
About
Robot
Legal
Privacy Policy