@missligaya5: Naiisip mo din ba naiisip ko?😅😆#fyp #fypシ゚viral #fyppppppppppppppppppppppp

missligaya5
missligaya5
Open In TikTok:
Region: PH
Friday 29 August 2025 10:28:00 GMT
374592
57417
372
2777

Music

Download

Comments

aabbcc1258
ππ :
2025-08-31 13:26:41
40
tomcruise14413
William Jr :
2025-09-02 04:28:06
6
user1757572209440
user1757572209440 :
သိေနတယ္ေနာ္
2025-09-10 13:06:59
0
user502654415
Tomato 🍅 :
2025-09-05 04:57:22
0
k3n_hao
K3n_Hao :
2025-09-03 00:20:48
1
ombbbb21
OOGWAY :
2025-08-31 15:01:56
2
pai.pai234
pai pai :
2025-09-05 18:24:45
0
403.not.found
moo :
2025-08-31 08:03:57
4
jechrisjcfelicio20
Royalblood (JF) 🇵🇭 Store 🍊 :
😅 Nice
2025-09-07 15:55:06
0
abejahgabeescueta
GABE :
2025-09-02 15:15:46
0
pyae.phyo5891
@3ÃGL3 :
💕
2025-09-05 03:52:23
0
user8108404322595
*15* :
2025-09-01 13:28:00
2
mictoong
miko :
2025-08-30 13:27:25
1
rikimaru982
rikimaru :
2025-09-02 20:50:43
0
sawyehtike227205
Saw Ye Htike755 :
😁
2025-08-31 13:13:51
1
oppai_3
Oppai :
daya bakit bawal save
2025-09-01 17:17:13
0
ameiljhonaquino
A :
sanay
2025-08-31 11:05:19
5
dahilsayonaradaman
akosayoikawakin :
honest 9.91/10
2025-09-05 03:28:58
0
booogeymain
boogeyman :
2025-09-01 12:25:24
2
soguevarra
Teddy :
2025-09-03 08:37:33
1
jua452
Juan José :
🤣😂😅🤣😂😅 beutiful
2025-08-31 12:58:08
0
lockyou888
lockyou888 :
2025-09-01 11:17:50
1
warrdell3
Warrdell12 :
2025-08-31 14:28:17
0
codm_god_usopp
Gød_Usøpp :
2025-08-31 16:04:13
0
ron.ron081
Ron.ron :
Nice ☺️
2025-08-31 03:30:48
1
To see more videos from user @missligaya5, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

INTRUKSI Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian agar pejabat daerah dan keluarganya menahan diri dari flexing kemewahan harus dibaca lebih dalam dari sekadar seruan moral. Ia adalah alarm keras tentang betapa rapuhnya kepercayaan publik kepada pemimpinnya. Ketika rakyat berjuang dengan kesulitan ekonomi, setiap pameran kemewahan yang dilakukan pejabat dapat dirasakan sebagai pengkhianatan terhadap rasa keadilan. Fenomena flexing bukanlah isu baru. Dalam beberapa tahun terakhir, publik sering disuguhi tontonan gaya hidup elite yang jauh dari kesederhanaan. Dari jam tangan berharga miliaran rupiah, rumah seharga ratusan miliar, hingga mobil super mewah yang hanya bisa dimiliki segelintir orang. Semua ini dipamerkan di ruang publik melalui pesta seremonial yang berlebihan maupun unggahan media sosial yang mudah viral. Bagi rakyat, tontonan seperti ini bukan sekadar hiburan, melainkan pengingat pahit akan jauhnya jarak antara mereka yang berkuasa dan mereka yang harus berhemat demi sekadar bertahan hidup. Mendagri Tito menyadari bahwa persoalan ini bukan hanya menyangkut etika pribadi. Gaya hidup pejabat adalah pesan simbolik yang akan ditangkap masyarakat sebagai cermin kepedulian atau justru ketidakpedulian. Ketika pejabat mempertontonkan kemewahan, yang terbaca di benak publik adalah abainya pemerintah terhadap penderitaan rakyat. Karena itu, instruksi ini patut diapresiasi. Namun, pertanyaan berikutnya jauh lebih penting: apakah instruksi ini akan benar-benar dijalankan atau hanya menjadi dokumen birokratis yang cepat dilupakan. Kritik utama yang perlu ditegaskan adalah bahwa instruksi tanpa teladan tidak akan bermakna. Pemotongan anggaran seremonial memang harus dilakukan, tetapi yang lebih penting adalah keberanian pejabat untuk menunjukkan kesederhanaan dalam kehidupan pribadi mereka. Jangan sampai pejabat menunda pesta dinas, tetapi tetap mempertontonkan pesta ulang tahun keluarga yang megah. Jangan sampai anggaran perjalanan ke luar negeri dipangkas, tetapi mobil mewah terbaru tetap dipamerkan di garasi rumah. Lebih jauh, instruksi ini seharusnya dibarengi dengan sistem pengawasan dan sanksi yang jelas. Jika ada pejabat yang tetap melanggar, publik berhak tahu bahwa negara tidak hanya bisa menegur, tetapi juga bisa bertindak tegas. Tanpa mekanisme pengendalian, instruksi Mendagri hanya akan menjadi suara kosong yang tidak lebih dari basa basi politik. Flexing pejabat adalah luka yang menganga dalam relasi negara dan rakyatnya. Luka itu tidak bisa disembuhkan dengan kata-kata manis, tetapi hanya dengan tindakan nyata yang konsisten. Pemerintah harus mampu mengubah kultur politik seremonial menjadi kultur kerja nyata yang berpihak pada rakyat. Rakyat tidak membutuhkan pesta mewah dan kemewahan yang dipamerkan. Rakyat membutuhkan keberpihakan, keadilan, dan kepemimpinan yang sederhana tetapi kuat maknanya. Editorial ini menegaskan bahwa larangan flexing bukan hanya soal menahan diri dari pesta seremonial atau unggahan media sosial. Lebih dari itu, larangan flexing adalah panggilan integritas yang harus dijawab dengan teladan, pengawasan, dan konsistensi. Jika tidak, luka kepercayaan publik akan semakin dalam dan bisa membusuk menjadi krisis legitimasi yang jauh lebih berbahaya. (*) #podiumnews #fyp #beritatiktok #beritaviral
INTRUKSI Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian agar pejabat daerah dan keluarganya menahan diri dari flexing kemewahan harus dibaca lebih dalam dari sekadar seruan moral. Ia adalah alarm keras tentang betapa rapuhnya kepercayaan publik kepada pemimpinnya. Ketika rakyat berjuang dengan kesulitan ekonomi, setiap pameran kemewahan yang dilakukan pejabat dapat dirasakan sebagai pengkhianatan terhadap rasa keadilan. Fenomena flexing bukanlah isu baru. Dalam beberapa tahun terakhir, publik sering disuguhi tontonan gaya hidup elite yang jauh dari kesederhanaan. Dari jam tangan berharga miliaran rupiah, rumah seharga ratusan miliar, hingga mobil super mewah yang hanya bisa dimiliki segelintir orang. Semua ini dipamerkan di ruang publik melalui pesta seremonial yang berlebihan maupun unggahan media sosial yang mudah viral. Bagi rakyat, tontonan seperti ini bukan sekadar hiburan, melainkan pengingat pahit akan jauhnya jarak antara mereka yang berkuasa dan mereka yang harus berhemat demi sekadar bertahan hidup. Mendagri Tito menyadari bahwa persoalan ini bukan hanya menyangkut etika pribadi. Gaya hidup pejabat adalah pesan simbolik yang akan ditangkap masyarakat sebagai cermin kepedulian atau justru ketidakpedulian. Ketika pejabat mempertontonkan kemewahan, yang terbaca di benak publik adalah abainya pemerintah terhadap penderitaan rakyat. Karena itu, instruksi ini patut diapresiasi. Namun, pertanyaan berikutnya jauh lebih penting: apakah instruksi ini akan benar-benar dijalankan atau hanya menjadi dokumen birokratis yang cepat dilupakan. Kritik utama yang perlu ditegaskan adalah bahwa instruksi tanpa teladan tidak akan bermakna. Pemotongan anggaran seremonial memang harus dilakukan, tetapi yang lebih penting adalah keberanian pejabat untuk menunjukkan kesederhanaan dalam kehidupan pribadi mereka. Jangan sampai pejabat menunda pesta dinas, tetapi tetap mempertontonkan pesta ulang tahun keluarga yang megah. Jangan sampai anggaran perjalanan ke luar negeri dipangkas, tetapi mobil mewah terbaru tetap dipamerkan di garasi rumah. Lebih jauh, instruksi ini seharusnya dibarengi dengan sistem pengawasan dan sanksi yang jelas. Jika ada pejabat yang tetap melanggar, publik berhak tahu bahwa negara tidak hanya bisa menegur, tetapi juga bisa bertindak tegas. Tanpa mekanisme pengendalian, instruksi Mendagri hanya akan menjadi suara kosong yang tidak lebih dari basa basi politik. Flexing pejabat adalah luka yang menganga dalam relasi negara dan rakyatnya. Luka itu tidak bisa disembuhkan dengan kata-kata manis, tetapi hanya dengan tindakan nyata yang konsisten. Pemerintah harus mampu mengubah kultur politik seremonial menjadi kultur kerja nyata yang berpihak pada rakyat. Rakyat tidak membutuhkan pesta mewah dan kemewahan yang dipamerkan. Rakyat membutuhkan keberpihakan, keadilan, dan kepemimpinan yang sederhana tetapi kuat maknanya. Editorial ini menegaskan bahwa larangan flexing bukan hanya soal menahan diri dari pesta seremonial atau unggahan media sosial. Lebih dari itu, larangan flexing adalah panggilan integritas yang harus dijawab dengan teladan, pengawasan, dan konsistensi. Jika tidak, luka kepercayaan publik akan semakin dalam dan bisa membusuk menjadi krisis legitimasi yang jauh lebih berbahaya. (*) #podiumnews #fyp #beritatiktok #beritaviral

About