@tspjordanriley: Join up!! Drop names for the guitar below who’s gonna be the next name 👀 #tiktoklive #bubbleheadphones #foryou

TheSonOfAPreacherJordanRiley
TheSonOfAPreacherJordanRiley
Open In TikTok:
Region: US
Friday 29 August 2025 17:53:38 GMT
855
83
1
15

Music

Download

Comments

gonefor30days
Vacant :
I thought it was already decided it was named Steve
2025-08-30 00:47:36
1
To see more videos from user @tspjordanriley, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

Jakarta, 24 Maret 1995. Di sebuah siang yang sederhana namun penuh makna, Presiden Soeharto meresmikan Rumah Susun Bidara Cina, Cawang, Jakarta Timur. Bukan sekadar gunting pita atau sambutan formal, tapi sebuah pesan hidup yang ia titipkan: ikhlas.  Bagi Pak Harto, ikhlas bukan cuma kata klise di poster masjid atau slogan motivasi murahan. Ikhlas adalah core values yang harus ditanam di tiap warga negara. Ia menyebutnya sebagai bentuk nyata menghayati dan mengamalkan Pancasila—bukan sekadar hafalan sila pertama sampai kelima.  “Kalau semua dilakukan dengan ikhlas, nanti Tuhan Yang Maha Kuasa akan mengetahui. Itu jadi pahala, jadi bekal hidup di akhirat. Jadi nggak ada ruginya,” ucapnya dengan nada teduh tapi menusuk.  Pesan itu seperti alarm batin: apa yang kita lakukan hari ini, baik sekecil apapun, akan punya konsekuensi abadi. Ikhlas itu win-win solution—menguntungkan dunia dan akhirat.  Sebaliknya, kata Pak Harto, kalau kita kerja tanpa ikhlas, bahkan sampai bikin hidup orang lain susah, jangan harap balasan surga. Neraka jadi tempat singgah yang jelas.  Di tengah hiruk pikuk pembangunan ’90-an, Pak Harto menegaskan bahwa kemajuan fisik saja tidak cukup. Gedung bisa menjulang, jalan tol bisa terbentang, tapi kalau jiwa manusianya kering dari keikhlasan, bangsa ini akan rapuh.  Kini, puluhan tahun kemudian, pesan itu masih relevan. Dunia bergerak cepat, generasi berganti, tapi nilai ikhlas tetap jadi pondasi. Dalam kerja, dalam karya, dalam setiap interaksi. Ikhlas bukan berarti pasrah tanpa usaha, tapi kerja total tanpa pamrih, biar Tuhan yang menilai.  Ikhlas, kata Pak Harto, bukan sekadar pilihan. Itu jalan hidup. Sc:@karnalifaisal #soeharto #pakharto #presidensoeharto #bapakpembangunan
Jakarta, 24 Maret 1995. Di sebuah siang yang sederhana namun penuh makna, Presiden Soeharto meresmikan Rumah Susun Bidara Cina, Cawang, Jakarta Timur. Bukan sekadar gunting pita atau sambutan formal, tapi sebuah pesan hidup yang ia titipkan: ikhlas. Bagi Pak Harto, ikhlas bukan cuma kata klise di poster masjid atau slogan motivasi murahan. Ikhlas adalah core values yang harus ditanam di tiap warga negara. Ia menyebutnya sebagai bentuk nyata menghayati dan mengamalkan Pancasila—bukan sekadar hafalan sila pertama sampai kelima. “Kalau semua dilakukan dengan ikhlas, nanti Tuhan Yang Maha Kuasa akan mengetahui. Itu jadi pahala, jadi bekal hidup di akhirat. Jadi nggak ada ruginya,” ucapnya dengan nada teduh tapi menusuk. Pesan itu seperti alarm batin: apa yang kita lakukan hari ini, baik sekecil apapun, akan punya konsekuensi abadi. Ikhlas itu win-win solution—menguntungkan dunia dan akhirat. Sebaliknya, kata Pak Harto, kalau kita kerja tanpa ikhlas, bahkan sampai bikin hidup orang lain susah, jangan harap balasan surga. Neraka jadi tempat singgah yang jelas. Di tengah hiruk pikuk pembangunan ’90-an, Pak Harto menegaskan bahwa kemajuan fisik saja tidak cukup. Gedung bisa menjulang, jalan tol bisa terbentang, tapi kalau jiwa manusianya kering dari keikhlasan, bangsa ini akan rapuh. Kini, puluhan tahun kemudian, pesan itu masih relevan. Dunia bergerak cepat, generasi berganti, tapi nilai ikhlas tetap jadi pondasi. Dalam kerja, dalam karya, dalam setiap interaksi. Ikhlas bukan berarti pasrah tanpa usaha, tapi kerja total tanpa pamrih, biar Tuhan yang menilai. Ikhlas, kata Pak Harto, bukan sekadar pilihan. Itu jalan hidup. Sc:@karnalifaisal #soeharto #pakharto #presidensoeharto #bapakpembangunan

About