@arwan.51: Old Song 😩🎧#foryoupagе #fyp #foryou #arwaan51 #trending

Arwan 🧃
Arwan 🧃
Open In TikTok:
Region: BD
Monday 01 September 2025 12:53:13 GMT
15860
1399
6
22

Music

Download

Comments

md.shahed17
md shahed :
🥰🥰🥰
2025-09-01 17:26:14
0
md.asikur.rahman463
Md Asikur Rahman :
🥰🥰🥰
2025-09-01 15:33:39
0
xr.emon.2933
Ⓡⓧ ⒺⓂⓄⓃ :
🥰🥰🥰
2025-09-01 14:47:02
0
tamimpk0
Tamim Pk :
🥰🥰🥰
2025-09-01 13:05:38
0
userariyan49
ariyan :
❤️❤️❤️
2025-09-01 13:04:04
0
rohan88651
❤️মাতাল রাজা 🍁🌷🌷 :
🥰🥰🥰
2025-09-01 17:57:59
0
To see more videos from user @arwan.51, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

Stadion Manahan, Solo, 22 Agustus 2011. Menit ke-48, nomor punggung 9 Palestina berlari menyambut bola. Satu sentuhan, lalu lob lembutnya melewati jangkauan Markus Horison. Bola itu memantul sekali sebelum bersarang di gawang Indonesia. Sorak penonton pecah. Bukan untuk merayakan keunggulan lawan, tapi untuk mengapresiasi keindahan. Suleiman Obaid tersenyum lebar. Di tepi lapangan ia berjoget, sebelum dirangkul dan dipeluk rekan-rekannya. Di momen itu, ia hanyalah seorang pesepakbola. Ia bukan simbol, bukan korban perang, hanya pria yang mencintai bola. Dan, tahu betul caranya membuat dunia tersenyum. Empat belas tahun berlalu. Gaza tak lagi punya stadion yang utuh. Dan Suleiman Obaid tak lagi berlari di rumput hijau. Rabu, 6 Agustus 2025, ia berdiri di selatan Rafah, menunggu bantuan kemanusiaan. Di tengah antrean, dentuman datang. Debu, jeritan, dan hening yang mematikan. Federasi Sepak Bola Palestina mengumumkan kabar itu. Suleiman Obaid, 41 tahun, ayah dari lima anak, tewas dalam serangan Israel. Pria yang dulu menari di Solo kini pergi untuk selamanya. Obaid memulai langkahnya di klub Khadamat Al-Shatee pada 2005. Dua tahun di tim muda, lalu promosi ke senior. Dari sana ia menyeberang ke Markaz Shabab Al-Am'ari pada 2009, sebelum kembali ke Khadamat pada 2013. Sempat merumput untuk SC Gaza pada 2014–2016, ia akhirnya pulang lagi ke Khadamat Al-Shatee. Klub itu adalah rumahnya. Sejauh apa pun ia pergi, ia selalu kembali. Di tanah kelahirannya, ia meraih Sepatu Emas Liga Primer Jalur Gaza tiga musim beruntun: 2016, 2017, dan 2018. Kontrak terakhirnya pun berakhir di sana pada 2023. Itu sebuah lingkaran yang sempurna, seolah hidupnya memang ditakdirkan untuk berlabuh di tempat itu. Eric Cantona menyebutnya “Pele Palestina” dan berteriak di media sosial: “Mau sampai kapan kita membiarkan genosida ini?” Gary Lineker, mantan penyerang Inggris, mengunggah protes serupa, menyindir FIFA yang bungkam: “Kita tak mendengar Anda, FIFA.” Dalam catatan Federasi Palestina, ia mencetak lebih dari 100 gol sepanjang kariernya. Dua di antaranya untuk tim nasional: satu salto ke gawang Yaman, satu lob ke gawang Indonesia. Gol itu kini jadi potongan kenangan yang tak bisa diulang. Dan dunia harus mengingatnya. Bukan hanya sebagai pemain yang mencetak angka di papan skor, tapi sebagai manusia yang dibunuh saat menunggu roti untuk keluarganya. Dari sorak-sorai di Manahan Solo hingga sunyi di Gaza, cerita Suleiman Obaid adalah pengingat: bahwa sepak bola pernah mempertemukan kita, dan kemanusiaan seharusnya membuat kita berdiri bersama.  Selamat jalan Suleiman Obaid. Pele Palestina yang pernah membuat Stadion Manahan Berdiri. (*) #Gaza #SuleimanObaid #Sepakbola #PrayForPalestine
Stadion Manahan, Solo, 22 Agustus 2011. Menit ke-48, nomor punggung 9 Palestina berlari menyambut bola. Satu sentuhan, lalu lob lembutnya melewati jangkauan Markus Horison. Bola itu memantul sekali sebelum bersarang di gawang Indonesia. Sorak penonton pecah. Bukan untuk merayakan keunggulan lawan, tapi untuk mengapresiasi keindahan. Suleiman Obaid tersenyum lebar. Di tepi lapangan ia berjoget, sebelum dirangkul dan dipeluk rekan-rekannya. Di momen itu, ia hanyalah seorang pesepakbola. Ia bukan simbol, bukan korban perang, hanya pria yang mencintai bola. Dan, tahu betul caranya membuat dunia tersenyum. Empat belas tahun berlalu. Gaza tak lagi punya stadion yang utuh. Dan Suleiman Obaid tak lagi berlari di rumput hijau. Rabu, 6 Agustus 2025, ia berdiri di selatan Rafah, menunggu bantuan kemanusiaan. Di tengah antrean, dentuman datang. Debu, jeritan, dan hening yang mematikan. Federasi Sepak Bola Palestina mengumumkan kabar itu. Suleiman Obaid, 41 tahun, ayah dari lima anak, tewas dalam serangan Israel. Pria yang dulu menari di Solo kini pergi untuk selamanya. Obaid memulai langkahnya di klub Khadamat Al-Shatee pada 2005. Dua tahun di tim muda, lalu promosi ke senior. Dari sana ia menyeberang ke Markaz Shabab Al-Am'ari pada 2009, sebelum kembali ke Khadamat pada 2013. Sempat merumput untuk SC Gaza pada 2014–2016, ia akhirnya pulang lagi ke Khadamat Al-Shatee. Klub itu adalah rumahnya. Sejauh apa pun ia pergi, ia selalu kembali. Di tanah kelahirannya, ia meraih Sepatu Emas Liga Primer Jalur Gaza tiga musim beruntun: 2016, 2017, dan 2018. Kontrak terakhirnya pun berakhir di sana pada 2023. Itu sebuah lingkaran yang sempurna, seolah hidupnya memang ditakdirkan untuk berlabuh di tempat itu. Eric Cantona menyebutnya “Pele Palestina” dan berteriak di media sosial: “Mau sampai kapan kita membiarkan genosida ini?” Gary Lineker, mantan penyerang Inggris, mengunggah protes serupa, menyindir FIFA yang bungkam: “Kita tak mendengar Anda, FIFA.” Dalam catatan Federasi Palestina, ia mencetak lebih dari 100 gol sepanjang kariernya. Dua di antaranya untuk tim nasional: satu salto ke gawang Yaman, satu lob ke gawang Indonesia. Gol itu kini jadi potongan kenangan yang tak bisa diulang. Dan dunia harus mengingatnya. Bukan hanya sebagai pemain yang mencetak angka di papan skor, tapi sebagai manusia yang dibunuh saat menunggu roti untuk keluarganya. Dari sorak-sorai di Manahan Solo hingga sunyi di Gaza, cerita Suleiman Obaid adalah pengingat: bahwa sepak bola pernah mempertemukan kita, dan kemanusiaan seharusnya membuat kita berdiri bersama. Selamat jalan Suleiman Obaid. Pele Palestina yang pernah membuat Stadion Manahan Berdiri. (*) #Gaza #SuleimanObaid #Sepakbola #PrayForPalestine

About