@awan.prames: Di pagi yang berkabut di Pakuan, gong istana dipukul tiga kali. Hutan membalas dengan desis embun, dan sungai Ciliwung membawa kabar ke hilir: putra Sri Baduga Maharaja telah naik takhta. Namanya Surawisesa—“yang arif dan perkasa”—dalam dirinya bertemu adab pesan leluhur dan beban zaman yang bergerak cepat. Sejak muda ia diajari membaca tanda-tanda alam: arah angin di pucuk bambu, jejak kijang di tanah liat, bisik akar saat musim seringai. “Kerajaan bukan hanya tembok dan prajurit,” kata ayahandanya. “Ia adalah tali halus yang menyatukan rahayat, pasar, ladang, dan pelabuhan.” Kalimat itu tertanam lebih dalam daripada ukiran pada batara di batu-batu punden. Maka ketika mahkota disematkan, Surawisesa tahu: masa damai yang hangat sudah menipis di tepi cakrawala. Di pesisir, ombak membawa perahu dari timur yang mengibarkan panji Demak, juga perahu dari barat yang mengusung salib angin—orang-orang Portugis yang datang dengan peta, meriam, dan janji dagang. Di antara dua arus itu, Pelabuhan Kalapa berkilat seperti mata harimau: siapa menguasainya, menguasai nadi lada dan jalur dunia. Surawisesa memilih jalan yang sukar—bersekutu untuk bertahan. Dikirimnya utusan ke Malaka; dicatatlah persetiaan, dan ditancapkan tugu batu di pasir Kalapa. Batu itu berdiri menghadap angin laut, menjadi saksi bahwa sebuah kerajaan pedalaman tahu membaca peta samudra. Namun sejarah sering datang bukan dengan langkah, melainkan dengan gelombang. Tahun-tahun berikutnya, bau mesiu menyusup ke pagi, debu kuda berbaur dengan garam. Di pesisir utara—Kalapa, Tanjung, Ancol Kiyi—gendang perang dipalu, panji-panji Pajajaran berkibar menahan hujan panah. Surawisesa memimpin dari depan, bukan dari balik tirai. “Silih asih, silih asah, silih asuh,” ia ucap sebelum barisan maju—sebuah doa agar perang tidak membusukkan hati para penjaganya. Konon sampai lima belas kali ia turun ke gelanggang dalam rentang yang tak panjang, dan setiap kali kembali, jubahnya makin berat oleh debu sejarah. Puncak gelombang itu tiba pada suatu hari yang kini dikenang oleh batu milik kota lain: kapal-kapal dari timur menutup muara, dan Kalapa jatuh. Api memanjat tiang pelabuhan, pekik menyatu dengan pekik; nama lama terbenam, nama baru naik ke permukaan. Di tepi pantai, Surawisesa berdiri menatap laut yang tak lagi sama. Ia tahu, kehilangan itu bukan hanya sebuah pelabuhan—melainkan pintu rumah yang dirampas dari sebuah bangsa. Tetapi ia juga tahu: pintu bisa jatuh, rumah tetap bisa berdiri selama tiangnya dijaga. Ia pulang ke Pakuan bukan untuk meratap, melainkan untuk menegakkan ingatan. Di kaki sebuah bukit, tukang pahat dipanggil. Setiap ketukan pahat pada batu adalah degup tekad: ukiran demi ukiran menuliskan nama ayahanda, menambatkan kejayaan yang pernah terang, dan menyalakan suluh bagi esok. Batu itu kelak disebut Batutulis, namun bagi Surawisesa, ia adalah jembatan agar cucu-cicitnya tahu bahwa pusaka tak selalu berupa pedang—kerap kali berupa ingatan yang tak mau padam. Di pedalaman, ia menguatkan jalur lada, menenteramkan pasar, menjaga Banten hulu agar sungai tidak patah di tengah perjalanan. Penjaga-penjaga perbatasan dilatih bukan hanya menguasai tombak, tetapi juga tutur; sebab peradaban diselamatkan bukan semata oleh benteng, melainkan oleh kata-kata yang menenangkan hati yang goncang. “Menang sejati,” ujarnya pada para senapati, “adalah menang yang menyisakan damai di belakangnya.” Malam-malam di Pakuan, ketika kabut menggulung atap ijuk dan kunang-kunang bertabur di kebun kenanga, Surawisesa sering berjalan sendirian menyusuri lorong batu. Ia menyapa arca tua, ia menghafal ulang bunyi sungai. Di sana, di antara desis daun dan langkah yang tertahan, ia berdamai dengan dua kenyataan: bahwa tak semua yang dicintai bisa dipertahankan, dan tak semua yang hilang berarti benar-benar lenyap. Karena yang diselamatkan seorang raja bukan hanya wilayah—melainkan martabat sebuah bangsa. #warisanluhur #falsafahsunda #budayasunda #prabusurawisesa #dongeng

PRAMES
PRAMES
Open In TikTok:
Region: ID
Tuesday 02 September 2025 12:50:20 GMT
3668
236
10
38

Music

Download

Comments

khansa0511
Khans pro :
Eyang Prabu Surawisesa Jaya Perkasa Trah Sribaduga Maharaja Siliwangi
2025-09-03 04:33:46
2
teramasturi
Teramasturi :
Salam pasundan🙏🙏🙏💪💪💪🥰🥰🥰
2025-09-02 21:08:25
1
agus.setiadi777
Agus Setiadi :
Teks nya kecepetan susah membacanya
2025-09-07 07:27:02
0
harun.arasid.46
Harun arasid 46 :
prabu surawisesa emang raja' Sunda yang tersohor dengan kebaikan nya🙏🤗 sehat dan bahagia 🙏
2025-09-05 15:38:55
1
yusufsupriatna0628
Pandu Maulana yusup :
Samurasun eyang Prabu, 🙏❤️🙏
2025-09-03 07:44:12
1
lupajalanpulang000
lupa jalan pulang000 :
❤️❤️❤️
2025-09-09 08:33:02
0
cakra.baskara36
Cakra Baskara :
🙏🙏🙏🙏
2025-09-09 04:08:43
0
abah.tatang6
Abah Tatang :
❤️❤️❤️❤️❤️
2025-09-03 07:04:38
0
syariful.fajar8
Syariful Fajar :
👍👍👍
2025-09-02 23:38:49
0
rahyangheritage
RaHyang Heritage :
mau minta dong sumbernya, dri teks naskah sunda kuno bukan?
2025-09-08 06:45:30
0
To see more videos from user @awan.prames, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos


About