@jenniidayy: Bà nào răng ố vàng muốn cải thiện thì thử em này nha, tui mê lắm luôn 🥹 #review #crest #kemdanhrangcrest #kemtrangrang #xuhuong

Jenniii 🍵
Jenniii 🍵
Open In TikTok:
Region: VN
Thursday 04 September 2025 08:48:30 GMT
71
5
2
1

Music

Download

Comments

janereviewday
Jane nè ✨ :
Mê em
2025-09-05 07:01:08
0
nganhuong3879
Ngân Hương 🍑🍓 :
chốt đơn cho mình nhé❤️
2025-09-04 10:26:50
0
lovelyreview10
Lovely :
🌹🌹🌹
2025-09-04 10:16:08
0
To see more videos from user @jenniidayy, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

Lo tahu nggak sih kalau tahun 1966 itu kayak titik patah sejarah bangsa.   Bayangin, mahasiswa dan rakyat waktu itu turun ke jalan bukan cuma iseng demo, tapi bener-bener bawa Tritura, turunkan harga, bubarin PKI, dan rombak kabinet.    Mereka bergerak karena ngerasa pemerintah udah nggak dengerin suara rakyat kecil. Nah, dari situ lahirlah Orde Baru yang katanya bawa harapan baru. Tapi kenyataannya. Banyak juga yang pahit, represi politik, pembungkaman suara, dan rakyat cuma bisa nurut.    Jadi, pelajaran dari 1966 itu jelas banget, demo bisa jadi energi perubahan, tapi juga bisa dimanfaatkan jadi alat kekuasaan.   Nah sekarang, kalau lo liat berita sejak 25 Agustus 2025 kemarin, vibesnya kok mirip-mirip ya. Mahasiswa, buruh, sampai ojol pun ikut bersuara.    Demo di Jakarta dan beberapa kota besar muncul karena rakyat gerah lihat wakil rakyat kayak hidup di dunia sendiri. DPR ngotot soal gaji, fasilitas, sama isu-isu yang jauh dari kebutuhan rakyat sehari-hari.    Sementara, harga-harga naik, lapangan kerja makin sulit, dan kebijakan seringnya bikin rakyat ngelus dada. Situasi ini kayak dejavu, rakyat kembali harus turun ke jalan buat bilang, “Hei, kita juga ada, dengerin suara kita.”   Cuman, bedanya sama 1966, sekarang kita hidup di era digital. Demo bukan cuma di jalan, tapi juga di timeline medsos.    Generasi Z sama milenial punya senjata baru, meme, thread Twitter, TikTok edukasi, sampai konten sindiran yang bisa viral secepat kilat.    Jadi, kalau dulu sejarah ditulis pake spanduk di jalanan, sekarang sejarah juga lagi ditulis pake caption IG dan trending.   Kita nggak mau biarin lagi perubahan ini dikendarai sama elit politik kayak dulu, atau kita belajar dari 1966 biar rakyat bener-bener jadi subjek, bukan cuma objek sejarah. Dari sumber ini gue dapat informasi 👇  John Roosa  Dalih Pembunuhan Massal (2016) Harold Crouch  Militer dan Politik di Indonesia (1999) Tempo.co (25–30 Agustus 2025): laporan demo mahasiswa dan buruh di Jakarta Reuters (30 Agustus 2025): liputan internasional soal aksi protes di Indonesia #demo1966 #aksimasa #indonesiasejahtera #aspirasibutuhaksi #duniataunggaksih
Lo tahu nggak sih kalau tahun 1966 itu kayak titik patah sejarah bangsa. Bayangin, mahasiswa dan rakyat waktu itu turun ke jalan bukan cuma iseng demo, tapi bener-bener bawa Tritura, turunkan harga, bubarin PKI, dan rombak kabinet. Mereka bergerak karena ngerasa pemerintah udah nggak dengerin suara rakyat kecil. Nah, dari situ lahirlah Orde Baru yang katanya bawa harapan baru. Tapi kenyataannya. Banyak juga yang pahit, represi politik, pembungkaman suara, dan rakyat cuma bisa nurut. Jadi, pelajaran dari 1966 itu jelas banget, demo bisa jadi energi perubahan, tapi juga bisa dimanfaatkan jadi alat kekuasaan. Nah sekarang, kalau lo liat berita sejak 25 Agustus 2025 kemarin, vibesnya kok mirip-mirip ya. Mahasiswa, buruh, sampai ojol pun ikut bersuara. Demo di Jakarta dan beberapa kota besar muncul karena rakyat gerah lihat wakil rakyat kayak hidup di dunia sendiri. DPR ngotot soal gaji, fasilitas, sama isu-isu yang jauh dari kebutuhan rakyat sehari-hari. Sementara, harga-harga naik, lapangan kerja makin sulit, dan kebijakan seringnya bikin rakyat ngelus dada. Situasi ini kayak dejavu, rakyat kembali harus turun ke jalan buat bilang, “Hei, kita juga ada, dengerin suara kita.” Cuman, bedanya sama 1966, sekarang kita hidup di era digital. Demo bukan cuma di jalan, tapi juga di timeline medsos. Generasi Z sama milenial punya senjata baru, meme, thread Twitter, TikTok edukasi, sampai konten sindiran yang bisa viral secepat kilat. Jadi, kalau dulu sejarah ditulis pake spanduk di jalanan, sekarang sejarah juga lagi ditulis pake caption IG dan trending. Kita nggak mau biarin lagi perubahan ini dikendarai sama elit politik kayak dulu, atau kita belajar dari 1966 biar rakyat bener-bener jadi subjek, bukan cuma objek sejarah. Dari sumber ini gue dapat informasi 👇 John Roosa Dalih Pembunuhan Massal (2016) Harold Crouch Militer dan Politik di Indonesia (1999) Tempo.co (25–30 Agustus 2025): laporan demo mahasiswa dan buruh di Jakarta Reuters (30 Agustus 2025): liputan internasional soal aksi protes di Indonesia #demo1966 #aksimasa #indonesiasejahtera #aspirasibutuhaksi #duniataunggaksih
Jadi ceritanya gini, di Eropa abad ke-16 sampai ke-18, orang-orang suka bikin sampul buku dengan warna hijau yang kece banget. Warna itu dipakai biar bukunya kelihatan mewah dan elegan, cocok buat pajangan bangsawan atau koleksi perpustakaan.   Tapi, tanpa mereka sadar, pigmen hijau yang dipakai itu berasal dari bahan kimia yang namanya Paris Green—dan bahan ini penuh dengan arsenik, salah satu racun paling mematikan di dunia.   Kebayang nggak, lo buka buku buat nyari ilmu, tapi yang masuk ke badan malah racun. Para peneliti modern nemuin kalau sebagian buku-buku kuno ini ngeluarin partikel racun yang bisa bikin pusing, mual, bahkan berbahaya kalau terlalu sering dihirup atau kena kulit.    Makanya sekarang, buku-buku beracun itu disimpen di ruang khusus, ditangani dengan sarung tangan, bahkan ada yang dikasih wadah kaca biar nggak nyebar racunnya. Bentuk bukunya sih kelihatan biasa aja cover hijau klasik, halaman tua kekuningan tapi ternyata diam-diam bisa jadi senjata mematikan.   Tapi kalau kita lihat lebih dalam, “buku beracun” ini kayak simbol, bro. Dia ngajarin kita bahwa sesuatu yang kelihatan indah, elegan, atau berharga belum tentu aman.    Sama kayak di hidup kita sekarang ada ilmu, berita, atau konten yang kelihatan keren, tapi kalau nggak kita filter, bisa jadi “racun” buat pikiran. Jadi, buku-buku ini bukan cuma tinggalan sejarah, tapi juga pengingat bahwa pengetahuan itu harus diperlakukan hati-hati dipilah mana yang bikin sehat, mana yang justru ngerusak. Dari sumber ini gue dapat informasi 👇  1. Rasmussen, Kaare, et al. “Poisonous Books: Green Pigments in 16th–18th Century Bookbindings.” University of Southern Denmark, 2018. 2. British Library Blog  Poisonous Books and Arsenic Pigments, 2019. 3. The Deadly Books  Smithsonian Magazine, 2019. #bukuberacun #jjedukasi #duniatsunggaksih #ilmusejarahdanpengetahuan #racunarsenik
Jadi ceritanya gini, di Eropa abad ke-16 sampai ke-18, orang-orang suka bikin sampul buku dengan warna hijau yang kece banget. Warna itu dipakai biar bukunya kelihatan mewah dan elegan, cocok buat pajangan bangsawan atau koleksi perpustakaan. Tapi, tanpa mereka sadar, pigmen hijau yang dipakai itu berasal dari bahan kimia yang namanya Paris Green—dan bahan ini penuh dengan arsenik, salah satu racun paling mematikan di dunia. Kebayang nggak, lo buka buku buat nyari ilmu, tapi yang masuk ke badan malah racun. Para peneliti modern nemuin kalau sebagian buku-buku kuno ini ngeluarin partikel racun yang bisa bikin pusing, mual, bahkan berbahaya kalau terlalu sering dihirup atau kena kulit. Makanya sekarang, buku-buku beracun itu disimpen di ruang khusus, ditangani dengan sarung tangan, bahkan ada yang dikasih wadah kaca biar nggak nyebar racunnya. Bentuk bukunya sih kelihatan biasa aja cover hijau klasik, halaman tua kekuningan tapi ternyata diam-diam bisa jadi senjata mematikan. Tapi kalau kita lihat lebih dalam, “buku beracun” ini kayak simbol, bro. Dia ngajarin kita bahwa sesuatu yang kelihatan indah, elegan, atau berharga belum tentu aman. Sama kayak di hidup kita sekarang ada ilmu, berita, atau konten yang kelihatan keren, tapi kalau nggak kita filter, bisa jadi “racun” buat pikiran. Jadi, buku-buku ini bukan cuma tinggalan sejarah, tapi juga pengingat bahwa pengetahuan itu harus diperlakukan hati-hati dipilah mana yang bikin sehat, mana yang justru ngerusak. Dari sumber ini gue dapat informasi 👇 1. Rasmussen, Kaare, et al. “Poisonous Books: Green Pigments in 16th–18th Century Bookbindings.” University of Southern Denmark, 2018. 2. British Library Blog Poisonous Books and Arsenic Pigments, 2019. 3. The Deadly Books Smithsonian Magazine, 2019. #bukuberacun #jjedukasi #duniatsunggaksih #ilmusejarahdanpengetahuan #racunarsenik

About