@jennifergruener: The Agnes to my Enid! Check out part 2 on @Laura Gruener's page. #wednesday #wednesdaydance #tiktokgemscontest

Jennifer Gruener
Jennifer Gruener
Open In TikTok:
Region: US
Tuesday 09 September 2025 18:56:20 GMT
1415
117
11
2

Music

Download

Comments

farmddrr
Fanndr :
A. I. The second dancer isn’t real….. but still effective! ❤️
2025-09-10 00:52:17
2
cshipman95
Cara Shipman :
Yessss need the full dance
2025-09-10 11:12:11
0
shannonhiggins825
shannonhiggins825 :
Ohhh this is soo awesome!! ❤️❤️❤️❤
2025-09-10 12:22:51
0
ciaojudi
Ciao Judi :
Yessss!
2025-09-09 20:04:39
0
dbkboutique
dbkboutique :
Sensational
2025-09-09 21:18:47
0
bravoandcats
Bravo and Cats :
That is so cool!!!
2025-09-10 00:12:41
0
jerushacavazos
jerushacavazos :
Amazing
2025-09-09 18:58:57
0
thesilverlibrarian
The Silver Librarian 💎 :
Woot! That was awesome! Thank you!!
2025-09-09 20:46:38
0
To see more videos from user @jennifergruener, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

Melupakan bukanlah satu-satunya jalan menuju kedamaian. Justru, banyak orang menemukan bahwa melupakan masa lalu sama saja dengan menghapus sebagian identitas dirinya. Fakta menariknya, penelitian di bidang psikologi menunjukkan bahwa ingatan emosional tidak bisa sepenuhnya dihapus, ia tertanam dalam sistem saraf kita dan muncul kembali dalam bentuk perasaan atau perilaku tertentu. Dengan kata lain, berdamai dengan diri sendiri bukan soal menghapus masa lalu, melainkan belajar hidup bersamanya. Dalam keseharian, kita sering melihat orang yang seolah kuat dan baik-baik saja, namun hatinya penuh sesal. Misalnya seseorang yang menyesali keputusan di masa lalu, lalu hidupnya penuh penolakan terhadap dirinya sendiri. Mereka mengira kunci kedamaian ada pada “melupakan”, padahal yang dibutuhkan justru keberanian untuk menerima. Pertanyaannya, bagaimana berdamai dengan diri tanpa harus melupakan? 1. Mengakui Kesalahan Tanpa Menjadikan Diri Musuh Banyak orang terjebak dalam pola menyalahkan diri sendiri. Setiap kesalahan di masa lalu dijadikan bukti bahwa dirinya tidak layak dicintai. Padahal, tidak ada manusia yang kebal dari kesalahan. Mengakui kesalahan bukan berarti merendahkan diri, melainkan bentuk kedewasaan untuk menerima kenyataan apa adanya. Contoh sederhana adalah seseorang yang gagal dalam pernikahan. Ia bisa saja terus hidup dengan rasa bersalah, menyalahkan diri, dan menganggap dirinya tak pantas berbahagia. Namun dengan mengakui bahwa pernikahan itu gagal karena banyak faktor, ia membuka ruang bagi diri untuk belajar. Kesalahan tidak lagi jadi label permanen, tapi pengalaman yang bisa dipetik. Proses ini memang tidak mudah, tapi justru di sinilah letak kekuatan berdamai. Mengakui tanpa membenci diri sendiri adalah fondasi untuk menemukan keutuhan batin. 2. Menyadari Bahwa Luka Tidak Harus Dihilangkan Ada keyakinan keliru bahwa satu-satunya jalan keluar dari luka adalah melupakannya. Padahal, luka adalah bagian dari sejarah pribadi yang membentuk siapa kita hari ini. Semakin kita menolak, semakin luka itu mencuat dalam bentuk lain, entah sebagai kecemasan atau amarah yang tidak jelas arahnya. Misalnya, seseorang yang pernah dihina soal fisiknya terus berusaha menutupinya, bahkan menghapus foto-foto masa lalu. Tetapi setiap kali ada komentar tentang tubuh, luka itu muncul kembali. Alih-alih berusaha menghapus, lebih sehat jika ia mengakui bahwa masa lalu itu ada dan memang menyakitkan, namun tidak lagi menentukan nilai dirinya. Dengan cara ini, luka berhenti menjadi momok, melainkan penanda perjalanan hidup. Menariknya, pembahasan seperti ini lebih mendalam bisa kamu temukan dalam konten eksklusif logikafilsuf, di mana luka bukan lagi dilihat sebagai penghalang, tetapi guru yang keras sekaligus jujur. 3. Belajar Bicara dengan Diri Sendiri Secara Jujur Dialog batin adalah cara kita memperlakukan diri sendiri. Banyak orang berbicara ke dirinya dengan nada menghakimi, padahal suara internal itu bisa menjadi sumber kekuatan. Mengubah cara bicara dengan diri sama artinya dengan memberi kesempatan untuk menyembuhkan luka lama. Contohnya, setelah gagal dalam ujian atau pekerjaan, sebagian orang langsung berkata pada dirinya, “Aku memang bodoh.” Kalimat ini memperkuat rasa tidak berharga. Namun jika ia mampu berkata, “Aku gagal kali ini, tapi itu bukan akhir,” maka kalimat sederhana itu bisa menjadi pondasi harapan. Menjalani dialog batin yang sehat bukan berarti membohongi diri, tetapi mengakui realitas dengan nada penuh belas kasih. Inilah bentuk berdamai yang sebenarnya: jujur tanpa menghakimi. 4. Menemukan Makna dari Setiap Kejadian Berdamai dengan diri tidak bisa dipisahkan dari kemampuan memberi makna baru pada pengalaman lama. Peristiwa pahit akan selalu ada, tapi maknanya bisa berubah seiring waktu. Seseorang yang dulu merasa terbuang, bisa memilih melihat pengalamannya sebagai jalan untuk memahami arti empati. Dalam kehidupan nyata, kita sering mendengar kisah orang yang berhasil mengubah penderitaan #motivation #education #logikafilsuf
Melupakan bukanlah satu-satunya jalan menuju kedamaian. Justru, banyak orang menemukan bahwa melupakan masa lalu sama saja dengan menghapus sebagian identitas dirinya. Fakta menariknya, penelitian di bidang psikologi menunjukkan bahwa ingatan emosional tidak bisa sepenuhnya dihapus, ia tertanam dalam sistem saraf kita dan muncul kembali dalam bentuk perasaan atau perilaku tertentu. Dengan kata lain, berdamai dengan diri sendiri bukan soal menghapus masa lalu, melainkan belajar hidup bersamanya. Dalam keseharian, kita sering melihat orang yang seolah kuat dan baik-baik saja, namun hatinya penuh sesal. Misalnya seseorang yang menyesali keputusan di masa lalu, lalu hidupnya penuh penolakan terhadap dirinya sendiri. Mereka mengira kunci kedamaian ada pada “melupakan”, padahal yang dibutuhkan justru keberanian untuk menerima. Pertanyaannya, bagaimana berdamai dengan diri tanpa harus melupakan? 1. Mengakui Kesalahan Tanpa Menjadikan Diri Musuh Banyak orang terjebak dalam pola menyalahkan diri sendiri. Setiap kesalahan di masa lalu dijadikan bukti bahwa dirinya tidak layak dicintai. Padahal, tidak ada manusia yang kebal dari kesalahan. Mengakui kesalahan bukan berarti merendahkan diri, melainkan bentuk kedewasaan untuk menerima kenyataan apa adanya. Contoh sederhana adalah seseorang yang gagal dalam pernikahan. Ia bisa saja terus hidup dengan rasa bersalah, menyalahkan diri, dan menganggap dirinya tak pantas berbahagia. Namun dengan mengakui bahwa pernikahan itu gagal karena banyak faktor, ia membuka ruang bagi diri untuk belajar. Kesalahan tidak lagi jadi label permanen, tapi pengalaman yang bisa dipetik. Proses ini memang tidak mudah, tapi justru di sinilah letak kekuatan berdamai. Mengakui tanpa membenci diri sendiri adalah fondasi untuk menemukan keutuhan batin. 2. Menyadari Bahwa Luka Tidak Harus Dihilangkan Ada keyakinan keliru bahwa satu-satunya jalan keluar dari luka adalah melupakannya. Padahal, luka adalah bagian dari sejarah pribadi yang membentuk siapa kita hari ini. Semakin kita menolak, semakin luka itu mencuat dalam bentuk lain, entah sebagai kecemasan atau amarah yang tidak jelas arahnya. Misalnya, seseorang yang pernah dihina soal fisiknya terus berusaha menutupinya, bahkan menghapus foto-foto masa lalu. Tetapi setiap kali ada komentar tentang tubuh, luka itu muncul kembali. Alih-alih berusaha menghapus, lebih sehat jika ia mengakui bahwa masa lalu itu ada dan memang menyakitkan, namun tidak lagi menentukan nilai dirinya. Dengan cara ini, luka berhenti menjadi momok, melainkan penanda perjalanan hidup. Menariknya, pembahasan seperti ini lebih mendalam bisa kamu temukan dalam konten eksklusif logikafilsuf, di mana luka bukan lagi dilihat sebagai penghalang, tetapi guru yang keras sekaligus jujur. 3. Belajar Bicara dengan Diri Sendiri Secara Jujur Dialog batin adalah cara kita memperlakukan diri sendiri. Banyak orang berbicara ke dirinya dengan nada menghakimi, padahal suara internal itu bisa menjadi sumber kekuatan. Mengubah cara bicara dengan diri sama artinya dengan memberi kesempatan untuk menyembuhkan luka lama. Contohnya, setelah gagal dalam ujian atau pekerjaan, sebagian orang langsung berkata pada dirinya, “Aku memang bodoh.” Kalimat ini memperkuat rasa tidak berharga. Namun jika ia mampu berkata, “Aku gagal kali ini, tapi itu bukan akhir,” maka kalimat sederhana itu bisa menjadi pondasi harapan. Menjalani dialog batin yang sehat bukan berarti membohongi diri, tetapi mengakui realitas dengan nada penuh belas kasih. Inilah bentuk berdamai yang sebenarnya: jujur tanpa menghakimi. 4. Menemukan Makna dari Setiap Kejadian Berdamai dengan diri tidak bisa dipisahkan dari kemampuan memberi makna baru pada pengalaman lama. Peristiwa pahit akan selalu ada, tapi maknanya bisa berubah seiring waktu. Seseorang yang dulu merasa terbuang, bisa memilih melihat pengalamannya sebagai jalan untuk memahami arti empati. Dalam kehidupan nyata, kita sering mendengar kisah orang yang berhasil mengubah penderitaan #motivation #education #logikafilsuf

About