@kemmi.monroe: 🤎

kemmi.monroe
kemmi.monroe
Open In TikTok:
Region: US
Sunday 14 September 2025 01:59:10 GMT
7661
899
7
11

Music

Download

Comments

neiaarai
Neia :
Size ?
2025-09-15 04:13:04
0
dianabayyy
Mazzi🖤🇨🇩 :
Wow 😍😍😍😍
2025-09-21 21:10:52
0
itsjordyii
Itsjordyii :
😍😍
2025-09-14 20:36:10
0
mjc1526
user6627186016221 :
🔥🌹🥰
2025-09-14 12:26:01
0
wigsshop.39
Wigs shop. :
❤️❤️❤️❤️❤️❤️💫🛍️SLAY THE LOOK! 💇‍♀️🔥 Be our Brand Ambassador 💌💕 Beautiful Wigs just for YOU! 💖
2025-09-16 10:28:39
0
busybillions0
Busybillions :
10
2025-09-14 12:23:30
0
To see more videos from user @kemmi.monroe, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

Tumbal Politik Utang: Ketika Tom Lembong Dihukum, Jokowi Tak Tersentuh Oleh: Fadhal Al-Khalidi Publik kembali diguncang oleh pertunjukan hukum yang penuh ironi. Tom Lembong, seorang ekonom yang pernah menjadi Menteri Perdagangan dan Kepala BKPM era Presiden Jokowi, kini harus duduk di kursi pesakitan. Ia dihukum dengan dalih terlibat dalam kebijakan ekonomi yang dianggap merugikan negara, terutama terkait utang dan investasi. Tetapi pertanyaannya: apakah Tom satu-satunya yang patut dimintai pertanggungjawaban? Atau justru ia hanya menjadi tumbal politik utang dari rezim yang tak ingin disalahkan? Kita sedang menyaksikan kehancuran keadilan di Indonesia. Tom Lembong bukanlah otak utama kebijakan. Ia hanyalah pelaksana dari skema besar yang digariskan oleh Presiden. Dalam sistem presidensial, segala keputusan strategis berada di tangan kepala negara. Maka bila kebijakan utang yang membengkak dan proyek-proyek raksasa yang kini dipertanyakan efektivitasnya benar-benar bermasalah, maka yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban adalah Presiden Jokowi sendiri, bukan pembantunya. Namun apa daya, sistem hukum kita lebih suka mencari kambing hitam ketimbang menyeret tokoh utama. Proses hukum terhadap Tom pun penuh tanda tanya. Bukti yang digunakan untuk menjeratnya dinilai lemah, penuh asumsi, dan tidak memenuhi syarat objektif sebagai dasar pemidanaan. Jika demikian, maka jelas bahwa yang dipertontonkan bukanlah proses keadilan, melainkan sandiwara politik yang menyedihkan. Lebih celaka lagi, publik justru diarahkan untuk fokus pada individu seperti Tom Lembong, sementara arsitek utama kebijakan ekonomi yang selama sepuluh tahun memimpin negeri ini, dibiarkan berjalan bebas, bahkan dielu-elukan seolah tak pernah bersalah. Inilah wajah asli hukum kita: tajam ke bawah, tumpul ke atas. Keadilan tidak boleh dipermainkan. Hukum seharusnya tidak tunduk pada kekuasaan. Jika ada kesalahan dalam kebijakan negara, maka semua yang terlibat harus bertanggung jawab secara proporsional. Jika Tom Lembong dihukum, maka Presiden yang memberinya mandat juga harus diperiksa, atau setidaknya dimintai pertanggungjawaban politik dan moral di hadapan rakyat. HMI sebagai gerakan moral dan intelektual tak akan diam melihat kehancuran sistem hukum ini. Kita tidak sedang membela individu, melainkan sedang memperjuangkan prinsip: bahwa dalam negara hukum, tidak boleh ada satu pun manusia yang kebal dari keadilan—termasuk Presiden. Sudah saatnya publik bersuara. Sudah saatnya mahasiswa bangkit. Tom Lembong hanyalah permukaan dari gunung es kebobrokan tata kelola negara. Dan keadilan tidak boleh dibiarkan terkubur demi kepentingan politik segelintir elite. Yang lebih mengerikan adalah, jika seorang sekelas Tom Lembong—tokoh nasional, mantan menteri, ekonom terkemuka, dan orang dalam lingkar kekuasaan—bisa begitu mudah dijatuhkan oleh keputusan yang diragukan validitas buktinya, maka apa kabar nasib rakyat kecil yang tak punya akses, tak punya jaringan, dan tak punya suara di ruang-ruang hukum yang elitis itu? Keadilan yang gagal melindungi seorang tokoh besar, nyaris pasti akan lebih kejam terhadap orang biasa. Bayangkan bagaimana sistem hukum ini memperlakukan petani, buruh, pedagang, atau aktivis yang hanya bersuara demi haknya, tetapi dianggap mengganggu tatanan kekuasaan. Jika hukum telah dijadikan alat politik oleh segelintir penguasa, maka tidak ada satu pun warga negara yang benar-benar aman—siapa pun bisa menjadi korban berikutnya. Ini bukan lagi soal Tom Lembong. Ini soal masa depan hukum dan moral bangsa. Bila yang bersalah tidak pernah disentuh, dan yang menjalankan perintah justru dikorbankan, maka jelas kita tidak sedang hidup dalam negara hukum, tapi dalam negara sandiwara. Kita menolak tunduk pada kezaliman yang dibungkus prosedur. Hukum yang dipertontonkan tanpa hati nurani hanyalah alat tukar kuasa.
Tumbal Politik Utang: Ketika Tom Lembong Dihukum, Jokowi Tak Tersentuh Oleh: Fadhal Al-Khalidi Publik kembali diguncang oleh pertunjukan hukum yang penuh ironi. Tom Lembong, seorang ekonom yang pernah menjadi Menteri Perdagangan dan Kepala BKPM era Presiden Jokowi, kini harus duduk di kursi pesakitan. Ia dihukum dengan dalih terlibat dalam kebijakan ekonomi yang dianggap merugikan negara, terutama terkait utang dan investasi. Tetapi pertanyaannya: apakah Tom satu-satunya yang patut dimintai pertanggungjawaban? Atau justru ia hanya menjadi tumbal politik utang dari rezim yang tak ingin disalahkan? Kita sedang menyaksikan kehancuran keadilan di Indonesia. Tom Lembong bukanlah otak utama kebijakan. Ia hanyalah pelaksana dari skema besar yang digariskan oleh Presiden. Dalam sistem presidensial, segala keputusan strategis berada di tangan kepala negara. Maka bila kebijakan utang yang membengkak dan proyek-proyek raksasa yang kini dipertanyakan efektivitasnya benar-benar bermasalah, maka yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban adalah Presiden Jokowi sendiri, bukan pembantunya. Namun apa daya, sistem hukum kita lebih suka mencari kambing hitam ketimbang menyeret tokoh utama. Proses hukum terhadap Tom pun penuh tanda tanya. Bukti yang digunakan untuk menjeratnya dinilai lemah, penuh asumsi, dan tidak memenuhi syarat objektif sebagai dasar pemidanaan. Jika demikian, maka jelas bahwa yang dipertontonkan bukanlah proses keadilan, melainkan sandiwara politik yang menyedihkan. Lebih celaka lagi, publik justru diarahkan untuk fokus pada individu seperti Tom Lembong, sementara arsitek utama kebijakan ekonomi yang selama sepuluh tahun memimpin negeri ini, dibiarkan berjalan bebas, bahkan dielu-elukan seolah tak pernah bersalah. Inilah wajah asli hukum kita: tajam ke bawah, tumpul ke atas. Keadilan tidak boleh dipermainkan. Hukum seharusnya tidak tunduk pada kekuasaan. Jika ada kesalahan dalam kebijakan negara, maka semua yang terlibat harus bertanggung jawab secara proporsional. Jika Tom Lembong dihukum, maka Presiden yang memberinya mandat juga harus diperiksa, atau setidaknya dimintai pertanggungjawaban politik dan moral di hadapan rakyat. HMI sebagai gerakan moral dan intelektual tak akan diam melihat kehancuran sistem hukum ini. Kita tidak sedang membela individu, melainkan sedang memperjuangkan prinsip: bahwa dalam negara hukum, tidak boleh ada satu pun manusia yang kebal dari keadilan—termasuk Presiden. Sudah saatnya publik bersuara. Sudah saatnya mahasiswa bangkit. Tom Lembong hanyalah permukaan dari gunung es kebobrokan tata kelola negara. Dan keadilan tidak boleh dibiarkan terkubur demi kepentingan politik segelintir elite. Yang lebih mengerikan adalah, jika seorang sekelas Tom Lembong—tokoh nasional, mantan menteri, ekonom terkemuka, dan orang dalam lingkar kekuasaan—bisa begitu mudah dijatuhkan oleh keputusan yang diragukan validitas buktinya, maka apa kabar nasib rakyat kecil yang tak punya akses, tak punya jaringan, dan tak punya suara di ruang-ruang hukum yang elitis itu? Keadilan yang gagal melindungi seorang tokoh besar, nyaris pasti akan lebih kejam terhadap orang biasa. Bayangkan bagaimana sistem hukum ini memperlakukan petani, buruh, pedagang, atau aktivis yang hanya bersuara demi haknya, tetapi dianggap mengganggu tatanan kekuasaan. Jika hukum telah dijadikan alat politik oleh segelintir penguasa, maka tidak ada satu pun warga negara yang benar-benar aman—siapa pun bisa menjadi korban berikutnya. Ini bukan lagi soal Tom Lembong. Ini soal masa depan hukum dan moral bangsa. Bila yang bersalah tidak pernah disentuh, dan yang menjalankan perintah justru dikorbankan, maka jelas kita tidak sedang hidup dalam negara hukum, tapi dalam negara sandiwara. Kita menolak tunduk pada kezaliman yang dibungkus prosedur. Hukum yang dipertontonkan tanpa hati nurani hanyalah alat tukar kuasa.

About