@saeed_damdad: #سقطرىفي خطوة تعكس الوعي البيئي وروح المبادرة المجتمعية (جمعية الحفاظ على شجرة دم الأخوين والشعر السقطري) نفذت اليوم، حملة نظافة واسعة في منطقة دكسم.

السقطري سعيد ضمداد
السقطري سعيد ضمداد
Open In TikTok:
Region: AE
Sunday 28 September 2025 14:00:06 GMT
3179
59
3
3

Music

Download

Comments

lya42925seu
ابو رؤعه :
خطوه مشرفه تسلم الايادي علا كلا ماعملو
2025-09-29 15:13:12
0
yaman45307448281840
هدهد سبأ🇾🇪🇾🇪 :
حلووو بيض الله وجوهكم انصح كل من يذهب لمثل هذه الاماكن ان يحافظ على المكان والبيئه ويترك المكان مثل ما وجده خالي من الثلوت🥰
2025-09-29 02:57:23
1
fuad_515.0
فواد باحشوان :
🥰🥰🥰
2025-09-28 16:17:39
1
To see more videos from user @saeed_damdad, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

Malam itu rumah sakit sudah sepi. Lampu di kamar Jeonghan redup, hanya suara detak jam dan monitor detak jantung yang terdengar. Harusnya dia sudah tidur, tapi dia malah menatap langit-langit sambil memegang tanganku. “Wind…” suaranya pelan sekali, hampir seperti bisikan, “Kalau suatu hari aku nggak ada lagi… kamu janji, ya, tetap makan tepat waktu. Jangan tidur larut. Jangan lupa ketawa.” Aku langsung menoleh cepat, kaget. “Kamu ngomong apaan sih? Udah malam, mending tidur.” Suaraku bergetar. Tapi dia terus lanjut, seolah nggak mau berhenti. “Aku capek, Wind… kadang rasanya pengen istirahat lama. Badanku ini… nggak mau nurut lagi.” Matanya menerawang kosong. “Tapi aku takut… bukan takut sakit… aku takut ninggalin kamu sendirian.” Aku nggak bisa nahan lagi. Air mata jatuh begitu saja. “Berhenti ngomong gitu! Kamu nggak akan pergi kemana-mana! Kita masih punya banyak hal yang mau kita lakuin. Kita masih mau ke pantai, nonton konser, makan pecel lele bareng… Kamu janji kan?” Dia tersenyum lemah, “Aku janji… kalau Tuhan izinin aku.” Aku langsung berdiri dari kursi, memeluknya erat walau harus hati-hati dengan semua selang dan infus di tubuhnya. “Aku nggak mau denger kata ‘pergi’ dari kamu lagi! Kamu harus sembuh, Jeonghan! Aku nggak siap kalau kamu…” suaraku pecah, tak sanggup melanjutkan. Tangannya berusaha mengusap punggungku walau lemah. “Aku cuma nggak mau ninggalin luka di hatimu yang nggak bisa sembuh. Kalau suatu hari aku pergi… aku mau kamu inget aku sambil senyum, bukan sambil nangis.” Aku menggeleng keras, “Kalau itu hari datang, aku nggak akan bisa senyum…” Jeonghan menghela napas panjang, lalu menutup matanya sebentar. “Kalau gitu… biar aku berjuang sedikit lebih lama. Biar aku nggak pergi sebelum kamu siap.” Kata-kata itu bikin dadaku makin sesak, antara ingin marah dan ingin memohon. Akhirnya aku cuma bisa menatap wajahnya lama, membiarkan air mata jatuh di tangannya yang hangat. Malam itu, tanpa sadar aku terus menggenggamnya erat, seolah kalau aku melepas, dia benar-benar akan pergi.
Malam itu rumah sakit sudah sepi. Lampu di kamar Jeonghan redup, hanya suara detak jam dan monitor detak jantung yang terdengar. Harusnya dia sudah tidur, tapi dia malah menatap langit-langit sambil memegang tanganku. “Wind…” suaranya pelan sekali, hampir seperti bisikan, “Kalau suatu hari aku nggak ada lagi… kamu janji, ya, tetap makan tepat waktu. Jangan tidur larut. Jangan lupa ketawa.” Aku langsung menoleh cepat, kaget. “Kamu ngomong apaan sih? Udah malam, mending tidur.” Suaraku bergetar. Tapi dia terus lanjut, seolah nggak mau berhenti. “Aku capek, Wind… kadang rasanya pengen istirahat lama. Badanku ini… nggak mau nurut lagi.” Matanya menerawang kosong. “Tapi aku takut… bukan takut sakit… aku takut ninggalin kamu sendirian.” Aku nggak bisa nahan lagi. Air mata jatuh begitu saja. “Berhenti ngomong gitu! Kamu nggak akan pergi kemana-mana! Kita masih punya banyak hal yang mau kita lakuin. Kita masih mau ke pantai, nonton konser, makan pecel lele bareng… Kamu janji kan?” Dia tersenyum lemah, “Aku janji… kalau Tuhan izinin aku.” Aku langsung berdiri dari kursi, memeluknya erat walau harus hati-hati dengan semua selang dan infus di tubuhnya. “Aku nggak mau denger kata ‘pergi’ dari kamu lagi! Kamu harus sembuh, Jeonghan! Aku nggak siap kalau kamu…” suaraku pecah, tak sanggup melanjutkan. Tangannya berusaha mengusap punggungku walau lemah. “Aku cuma nggak mau ninggalin luka di hatimu yang nggak bisa sembuh. Kalau suatu hari aku pergi… aku mau kamu inget aku sambil senyum, bukan sambil nangis.” Aku menggeleng keras, “Kalau itu hari datang, aku nggak akan bisa senyum…” Jeonghan menghela napas panjang, lalu menutup matanya sebentar. “Kalau gitu… biar aku berjuang sedikit lebih lama. Biar aku nggak pergi sebelum kamu siap.” Kata-kata itu bikin dadaku makin sesak, antara ingin marah dan ingin memohon. Akhirnya aku cuma bisa menatap wajahnya lama, membiarkan air mata jatuh di tangannya yang hangat. Malam itu, tanpa sadar aku terus menggenggamnya erat, seolah kalau aku melepas, dia benar-benar akan pergi.

About