@kieudiemxt: 🤫🤫🤫#motmilot #xhtiktok #trend #xuhuong

motmilot__
motmilot__
Open In TikTok:
Region: VN
Tuesday 30 September 2025 13:22:06 GMT
9045
615
4
39

Music

Download

Comments

tuan_tien_ty_6969
Anh Tứn :
mlem mlem quá
2025-10-01 05:56:45
0
toilasuneo
Suneo mỏ nhọn :
Người xinh như này có thật àaa 😳
2025-10-01 03:09:12
0
ducanh97321
zai đẹp bị điên :
sớm aaa
2025-09-30 13:28:18
0
trangorchids
NgMInh Thành :
🥰🥰🥰
2025-10-01 00:16:48
0
minhchelsea142
Minh Chelsea142 :
❤❤❤
2025-09-30 13:28:04
0
To see more videos from user @kieudiemxt, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

Intelijen negara, media, dan influencer berhasil membuat rakyat takut dengan isu darurat militer.  Pertanyaan pentingnya, bagaimana rakyat bisa menegakkan kedaulatan, jika sekadar isu saja sudah cukup untuk membungkam keberanian? Sejarah memberi kita pola yang sama. Kekuasaan tidak hanya bertahan lewat senjata, tapi juga lewat imajinasi. Negara modern bekerja bukan hanya dengan polisi dan tentara, tapi dengan apa yang Antonio Gramsci sebut hegemoni kultural yaitu kemampuan mencetak cara berpikir publik agar ketundukan terasa alami (Gramsci, 1971). Intelijen adalah aktor utama dalam permainan ini. Tugas mereka tidak sekadar mengumpulkan informasi, tapi mengarahkan persepsi.  Pertama, mereka identifikasi titik lemah publik yaitu rasa takut pada kekacauan dan militer.  Kedua, mereka menyusupkan narasi ke media, agar ‘darurat militer’ terdengar sebagai solusi yang akan dilakukan pemerintah dan jika terjadi maka rakyat akan kalah. Ketiga, mereka menggunakan influencer sebagai amplifier; di era digital, figur populer sering lebih dipercaya dibanding pejabat resmi (Tufekci, 2017). Dalam psikologi politik, ini disebut penciptaan persetujuan lewat rekayasa informasi atau bahasa lainnya adalah manufacturing consent (Herman & Chomsky, 1988). Rakyat akhirnya tidak merasa dipaksa, mereka merasa ‘memilih sendiri’ untuk tunduk. Masalahnya, jika sekadar kata ‘darurat militer’ sudah cukup untuk melumpuhkan protes, maka kedaulatan rakyat hanya hidup di atas kertas.  Demokrasi menjadi ritual kosong. Rakyat memilih setiap lima tahun, tapi ketakutan sehari-hari membuat mereka tidak pernah benar-benar berdaulat. Carl Schmitt pernah menulis, penguasa sejati adalah dia yang bisa menentukan keadaan darurat (Schmitt, 1922). Dengan kata lain, kedaulatan rakyat akan selalu rapuh selama definisi ancaman tidak ditentukan oleh rakyat sendiri, tetapi oleh intelijen, media, dan influencer yang bekerja untuk kekuasaan. Inilah paradoks demokrasi modern, kita berbicara tentang rakyat sebagai pemegang kedaulatan, tetapi dalam praktiknya, ketakutan yang diproduksi secara sistematis membuat rakyat enggan menggunakan hak berdaulatnya.  Selama ketakutan lebih kuat daripada keberanian, demokrasi hanya akan menjadi bayangan dari dirinya sendiri. Referensi 1. Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers. 2. Herman, E.S., & Chomsky, N. (1988). Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. Pantheon Books. 3. Schmitt, C. (1922). Political Theology: Four Chapters on the Concept of Sovereignty. Duncker & Humblot. 4. Tufekci, Z. (2017). Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest. Yale University Press.
Intelijen negara, media, dan influencer berhasil membuat rakyat takut dengan isu darurat militer. Pertanyaan pentingnya, bagaimana rakyat bisa menegakkan kedaulatan, jika sekadar isu saja sudah cukup untuk membungkam keberanian? Sejarah memberi kita pola yang sama. Kekuasaan tidak hanya bertahan lewat senjata, tapi juga lewat imajinasi. Negara modern bekerja bukan hanya dengan polisi dan tentara, tapi dengan apa yang Antonio Gramsci sebut hegemoni kultural yaitu kemampuan mencetak cara berpikir publik agar ketundukan terasa alami (Gramsci, 1971). Intelijen adalah aktor utama dalam permainan ini. Tugas mereka tidak sekadar mengumpulkan informasi, tapi mengarahkan persepsi. Pertama, mereka identifikasi titik lemah publik yaitu rasa takut pada kekacauan dan militer. Kedua, mereka menyusupkan narasi ke media, agar ‘darurat militer’ terdengar sebagai solusi yang akan dilakukan pemerintah dan jika terjadi maka rakyat akan kalah. Ketiga, mereka menggunakan influencer sebagai amplifier; di era digital, figur populer sering lebih dipercaya dibanding pejabat resmi (Tufekci, 2017). Dalam psikologi politik, ini disebut penciptaan persetujuan lewat rekayasa informasi atau bahasa lainnya adalah manufacturing consent (Herman & Chomsky, 1988). Rakyat akhirnya tidak merasa dipaksa, mereka merasa ‘memilih sendiri’ untuk tunduk. Masalahnya, jika sekadar kata ‘darurat militer’ sudah cukup untuk melumpuhkan protes, maka kedaulatan rakyat hanya hidup di atas kertas. Demokrasi menjadi ritual kosong. Rakyat memilih setiap lima tahun, tapi ketakutan sehari-hari membuat mereka tidak pernah benar-benar berdaulat. Carl Schmitt pernah menulis, penguasa sejati adalah dia yang bisa menentukan keadaan darurat (Schmitt, 1922). Dengan kata lain, kedaulatan rakyat akan selalu rapuh selama definisi ancaman tidak ditentukan oleh rakyat sendiri, tetapi oleh intelijen, media, dan influencer yang bekerja untuk kekuasaan. Inilah paradoks demokrasi modern, kita berbicara tentang rakyat sebagai pemegang kedaulatan, tetapi dalam praktiknya, ketakutan yang diproduksi secara sistematis membuat rakyat enggan menggunakan hak berdaulatnya. Selama ketakutan lebih kuat daripada keberanian, demokrasi hanya akan menjadi bayangan dari dirinya sendiri. Referensi 1. Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks. International Publishers. 2. Herman, E.S., & Chomsky, N. (1988). Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media. Pantheon Books. 3. Schmitt, C. (1922). Political Theology: Four Chapters on the Concept of Sovereignty. Duncker & Humblot. 4. Tufekci, Z. (2017). Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest. Yale University Press.

About