@metofficall4: Azkala Liverpool kendi kalesine atıyor du keşke atsaydı 😅 #galatasaray #metofficall4 #fy

MET
MET
Open In TikTok:
Region: TR
Tuesday 30 September 2025 19:31:47 GMT
32503
646
16
19

Music

Download

Comments

aahmeetkkkkkkkkkkkkk
💥💥💥ahmet💥💥💥 :
ya İlkay koşu yönün neden adamın arkası önüne geçmeye gitmedi
2025-09-30 23:57:44
0
070707r7
070707R :
Barisi gormedi
2025-09-30 22:45:43
0
selahattinka
telomero :
icardiyle osi birlikte oynasaydı ne gol atardık be
2025-09-30 22:54:41
0
cihanorl029
Cihan 0029 :
şu pas olacağını anlayıp oyuncunun önüne koşması gerekmezmiydi.. harika bir gol olurdu..
2025-09-30 22:51:45
0
user5796216677366
user5796216677366 :
❤️❤️❤
2025-09-30 19:45:31
1
abdul.rashid7078
Abdul Rashid :
😁
2025-10-01 00:44:02
0
33ksn.sfn
şerıf daglı :
🥰
2025-09-30 22:44:21
0
miguel.bohorquez904
Miguel Bohorquez :
😁
2025-09-30 22:29:29
0
savascelik5216
Savaş ÇELİK :
💜
2025-09-30 22:18:24
0
kadir030738
kadir 03 :
🥰
2025-09-30 21:25:54
0
turgaytanriver
TurgayTanrıver :
Galatasaray Liverpool hakemler ve kuşları üst üste koydu ve sapladı
2025-09-30 21:25:40
3
charles__club1
marzuqishak :
Check out my story for today's Correct Score match 🔥✅
2025-09-30 19:58:27
1
kingrenetips
King Rene :
Two correct score match , view my story🔥✅
2025-09-30 22:45:50
0
umit.asan
Whoami :
Oshimen orada topa basıp geri çekse çok daha net pozisyon olurdu. Ayrıca rakip 2 metre gerisinde idi kaleye de vurabilirdi. O pasın bizim adama gitmesi imkansız çünkü defans oyuncusu bizim adamım çok önünde ki zaten topu zorlanmadan kesti. Oshimen iyi golcü ama futbol zekası başka bişey. Gs ye tebrikler tabiki.
2025-09-30 21:54:30
0
To see more videos from user @metofficall4, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

Wawancara Eksklusif Bersama Teuku Hafiz Ikram Priatama (Amponcut) Laporan Khusus — Banda Aceh, 2 Agustus 2025 Kritik terhadap kemandekan narasi perjuangan di ruang-ruang publik Aceh kini datang bukan dari luar, tapi dari dalam tubuh generasi muda itu sendiri. Salah satunya dari Teuku Hafiz Ikram Priatama, yang dikenal luas di media sosial dengan nama Amponcut. Kami berbincang lebih jauh dengannya tentang pernyataan yang menjadi sorotan: “Diam yang terlalu panjang, menciptakan ragu di hati rakyat.” --- Reporter: Apakah Anda melihat perubahan cara rakyat memandang mimbar atau para tokoh hari ini? Amponcut: Ada pergeseran. Dulu rakyat datang ke masjid bukan cuma untuk salat, tapi untuk mendapat arah—untuk mendengar tentang harga diri, tentang nasib Aceh, tentang perjuangan. Sekarang, yang dibahas lebih banyak soal gaya hidup Islami, cara makan, cara berpakaian. Hal-hal itu penting, iya. Tapi di tengah kegelisahan Aceh hari ini, orang butuh lebih dari sekadar anjuran. --- Reporter: Apa yang Anda dengar dari masyarakat di bawah? Amponcut: Saya sering jalan. Ke warung kopi, ke kampung-kampung. Dan suara mereka hampir sama: “Kenapa ulama sekarang diam?” Tapi lucunya, mereka tidak marah. Mereka tetap hormat. Tapi di balik hormat itu, mereka mulai membuat keputusan sendiri. Dan itu berbahaya kalau arah yang mereka pilih justru menjauh dari apa yang kita perjuangkan dulu. --- Reporter: Apakah diam itu bisa dibenarkan? Amponcut: Kalau memang bagian dari strategi, seharusnya tetap ada isyarat. Misalnya bahasa simbolik, doa-doa tertentu, atau penggalan khutbah yang menyentuh realitas sosial. Tapi kalau semua benar-benar diam, maka rakyat tak tahu apakah mereka masih didukung atau sudah ditinggalkan. --- Reporter: Bagaimana Anda memandang peran mimbar hari ini? Amponcut: Mimbar adalah panggung langit. Kalau panggung itu hanya bicara soal ritual, kita kehilangan fungsinya sebagai mercusuar. Aceh bukan sekadar wilayah syariat, tapi juga tanah yang dulu berdiri karena kehormatan. Dan kehormatan itu butuh dijaga dengan narasi, bukan dibungkam oleh ketakutan. --- Reporter: Apa yang bisa terjadi jika ini terus dibiarkan? Amponcut: Kepercayaan itu seperti api kecil. Dibiarkan terlalu lama tanpa bahan bakar, dia padam. Kalau kepercayaan rakyat pada suara ulama padam, maka yang tumbuh bukan pemberontakan, tapi kekosongan. Dan kekosongan itu akan diisi oleh siapa saja—belum tentu yang membawa cahaya. --- Reporter: Apakah Anda sedang menggugat? Amponcut: Tidak. Saya hanya menyampaikan apa yang didengar rakyat tapi tak berani mereka ucapkan. Saya tidak merasa lebih tahu, saya hanya lebih berani menyuarakan. Biar jadi pengingat, bahwa diam pun bisa berdampak. --- Reporter: Apa yang paling Anda takutkan dari situasi ini? Amponcut: Saya takut generasi muda kehilangan arah, tapi tidak kehilangan keberanian. Artinya, mereka akan bergerak tanpa tuntunan. Dan kalau itu terjadi, siapa yang bisa bertanggung jawab? --- Reporter: Terakhir, apa harapan Anda? Amponcut: Saya masih percaya pada suara langit. Saya hanya ingin suara itu kembali menyapa rakyat. Walau satu kalimat. Karena kadang satu kalimat bisa mencegah perpecahan, bisa membangkitkan kembali harapan. Aceh tidak butuh banyak suara—kita hanya butuh suara yang jujur. --- #SuaraYangDitunggu #AmponcutBersuara #AcehDalamDiam #ArahPerjuangan #MimbarDanRakyat  ---
Wawancara Eksklusif Bersama Teuku Hafiz Ikram Priatama (Amponcut) Laporan Khusus — Banda Aceh, 2 Agustus 2025 Kritik terhadap kemandekan narasi perjuangan di ruang-ruang publik Aceh kini datang bukan dari luar, tapi dari dalam tubuh generasi muda itu sendiri. Salah satunya dari Teuku Hafiz Ikram Priatama, yang dikenal luas di media sosial dengan nama Amponcut. Kami berbincang lebih jauh dengannya tentang pernyataan yang menjadi sorotan: “Diam yang terlalu panjang, menciptakan ragu di hati rakyat.” --- Reporter: Apakah Anda melihat perubahan cara rakyat memandang mimbar atau para tokoh hari ini? Amponcut: Ada pergeseran. Dulu rakyat datang ke masjid bukan cuma untuk salat, tapi untuk mendapat arah—untuk mendengar tentang harga diri, tentang nasib Aceh, tentang perjuangan. Sekarang, yang dibahas lebih banyak soal gaya hidup Islami, cara makan, cara berpakaian. Hal-hal itu penting, iya. Tapi di tengah kegelisahan Aceh hari ini, orang butuh lebih dari sekadar anjuran. --- Reporter: Apa yang Anda dengar dari masyarakat di bawah? Amponcut: Saya sering jalan. Ke warung kopi, ke kampung-kampung. Dan suara mereka hampir sama: “Kenapa ulama sekarang diam?” Tapi lucunya, mereka tidak marah. Mereka tetap hormat. Tapi di balik hormat itu, mereka mulai membuat keputusan sendiri. Dan itu berbahaya kalau arah yang mereka pilih justru menjauh dari apa yang kita perjuangkan dulu. --- Reporter: Apakah diam itu bisa dibenarkan? Amponcut: Kalau memang bagian dari strategi, seharusnya tetap ada isyarat. Misalnya bahasa simbolik, doa-doa tertentu, atau penggalan khutbah yang menyentuh realitas sosial. Tapi kalau semua benar-benar diam, maka rakyat tak tahu apakah mereka masih didukung atau sudah ditinggalkan. --- Reporter: Bagaimana Anda memandang peran mimbar hari ini? Amponcut: Mimbar adalah panggung langit. Kalau panggung itu hanya bicara soal ritual, kita kehilangan fungsinya sebagai mercusuar. Aceh bukan sekadar wilayah syariat, tapi juga tanah yang dulu berdiri karena kehormatan. Dan kehormatan itu butuh dijaga dengan narasi, bukan dibungkam oleh ketakutan. --- Reporter: Apa yang bisa terjadi jika ini terus dibiarkan? Amponcut: Kepercayaan itu seperti api kecil. Dibiarkan terlalu lama tanpa bahan bakar, dia padam. Kalau kepercayaan rakyat pada suara ulama padam, maka yang tumbuh bukan pemberontakan, tapi kekosongan. Dan kekosongan itu akan diisi oleh siapa saja—belum tentu yang membawa cahaya. --- Reporter: Apakah Anda sedang menggugat? Amponcut: Tidak. Saya hanya menyampaikan apa yang didengar rakyat tapi tak berani mereka ucapkan. Saya tidak merasa lebih tahu, saya hanya lebih berani menyuarakan. Biar jadi pengingat, bahwa diam pun bisa berdampak. --- Reporter: Apa yang paling Anda takutkan dari situasi ini? Amponcut: Saya takut generasi muda kehilangan arah, tapi tidak kehilangan keberanian. Artinya, mereka akan bergerak tanpa tuntunan. Dan kalau itu terjadi, siapa yang bisa bertanggung jawab? --- Reporter: Terakhir, apa harapan Anda? Amponcut: Saya masih percaya pada suara langit. Saya hanya ingin suara itu kembali menyapa rakyat. Walau satu kalimat. Karena kadang satu kalimat bisa mencegah perpecahan, bisa membangkitkan kembali harapan. Aceh tidak butuh banyak suara—kita hanya butuh suara yang jujur. --- #SuaraYangDitunggu #AmponcutBersuara #AcehDalamDiam #ArahPerjuangan #MimbarDanRakyat ---
Sidang Perkara Buk Inong, Saksi Ahli: Jika Ada Surat Asli, Fotocopy Dieliminasi  Pengadilan Negeri Dumai kembali menggelar sidang perkara pidana nomor:134/Pid. B/2025/PN.Dum dengan terdakwa Inong Fitriani. Agenda sidang yakni mendengarkan keterangan Ahli Pidana, Davis Hardiago, SH, MH dari Universitas Islam Riau (UIR) selaku Saksi Ahli yang dihadirkan Penasehat Hukum terdakwa, Selasa (15/07/25) tadi pagi.  SAKSI Ahli, Davis Hardiago, SH, MH yang dihadirkan Penasehat Hukum Inong Fitriani pada persidangan yang berlangsung mulai pukul 11.00 WIB hingga pukul 13.30 WIB tadi menjelaskan banyak hal mengenai objektifitas pasal 263 yang didakwakan terhadap Inong Fitriani. Termasuk menyangkut pembuktian pada masing-masing alat bukti.
Sidang Perkara Buk Inong, Saksi Ahli: Jika Ada Surat Asli, Fotocopy Dieliminasi Pengadilan Negeri Dumai kembali menggelar sidang perkara pidana nomor:134/Pid. B/2025/PN.Dum dengan terdakwa Inong Fitriani. Agenda sidang yakni mendengarkan keterangan Ahli Pidana, Davis Hardiago, SH, MH dari Universitas Islam Riau (UIR) selaku Saksi Ahli yang dihadirkan Penasehat Hukum terdakwa, Selasa (15/07/25) tadi pagi. SAKSI Ahli, Davis Hardiago, SH, MH yang dihadirkan Penasehat Hukum Inong Fitriani pada persidangan yang berlangsung mulai pukul 11.00 WIB hingga pukul 13.30 WIB tadi menjelaskan banyak hal mengenai objektifitas pasal 263 yang didakwakan terhadap Inong Fitriani. Termasuk menyangkut pembuktian pada masing-masing alat bukti. " Merujuk pada acara hukum pidana yang dianut oleh seluruh ahli hukum pidana, salah satunya adalah Bewijskracht atau kekuatan pembuktian pada masing-masing alat bukti," ujar Davis Hardiago saat ditemui KupasBerita.Com usai persidangan, Selasa (15/07/25) di Pengadilan Negeri Dumai. Menurut Ahli Pidana yang juga Dosen UIR Pekanbaru ini, kekuatan pembuktian merujuk pada derajat pembuktian. Artinya, ketika dijumpai dua berkas yang menjelaskan satu objek yang sama, dan salah satunya harus dikualifikasikan sebagai sesuatu yang tidak asli, maka sebagaimana doktrin yang dimaksud, yang dipilih adalah berkas yang resmi atau yang asli. " Karena rujukan dari salinan adalah yang asli. Tapi kalau yang asli tidak bisa dirujuk untuk menjadi salah satu bukti, maka derajat (fotocopy,red) pembuktiannya beda. Dengan begitu maka derajat pembuktian paling besar yang digunakan adalah yang asli," jelas kandidat Doktor ini. Ditambahkan Davis Hardiago, kesimpulan dari keseluruhannya itu, pihaknya tetap berpendapat sebagaimana yang sudah dijelaskan di dalam ruang persidangan. " Bahwa jika ada fotocopy dan asli, maka yang digunakan tetap yang asli. Sedangkan yang fotocopy atau salinan dieliminasi berdasarkan doktrin hukum tersebut," tegas Davis Hardiago. Tidak Terbukti, Terdakwa Wajib Dibebaskan Pada kesempatan itu, Ahli Pidana Davis Hardiago, SH, MH juga menegaskan bahwa azas hukum dalam perkara pidana pihak penggugat yang harus membuktikan. Jika tidak terbukti, maka terdakwa wajib dibebaskan. " Dalam konteks (kasus Buk Inong) ini, yang mendakwa adalah Jaksa Penuntut Umum. Artinya jika tak mampu membuktikan, maka konsekwensinya terdakwa wajib dibebaskan," tegas Davis Hardiago, SH, MH. Sementara Penasehat Hukum Inong Fitriani, Andi Azis, SH, MH dan kawan-kawan usai sidang menyampaikan Saksi Ahli yang dihadirkan sudah menyampaikan banyak hal selama persidangan berlangsung. " Tadi sudah banyak sekali yang dijelaskan saksi ahli mengenai objektifitas unsur pasal 263 yang didakwakan kepada klien kami. Mudah-mudahan itu semua bisa menjadi khasanah dan menambah wawasan serta tidak kalah penting menjadi pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan nantinya. Kita juga berharap pendapat ahli tadi menjadi salah satu poin yang bisa membebaskan terdakwa," ujar Andi Azis, SH, MH. JPU Tidak Bisa Tunjukkan Surat Asli Pada sisi lain, dalam agenda sidang pemeriksaan keterangan saksi yang digelar, Selasa (24/06/25) lalu, Jaksa Penuntut Umum tidak bisa menunjukkan surat asli yang dijadikan dasar dakwaan kasus pemalsuan surat oleh Inong Fitriani. Sama halnya dengan 3 orang saksi yang dihadirkan JPU, dimana mereka lebih banyak mengaku tidak tahu. Penasehat Hukum Inong Fitriani, Johanda Saputra, SH saat itu menyampaikan dari sekian banyak pertanyaan yang diajukan kepada saksi, banyak jawaban yang tidak memuaskan. " Setelah mendengar keterangan saksi, kami memohon kepada Majelis Hakim agar meminta JPU untuk memunculkan surat asli ukuran 9x81 depa yang dijadikan dasar pelaporan klien kami (Inong Fitriani,red). Kami sudah menunjukkan surat asli yang dipegang oleh klien kami," ujar Johanda Saputra, SH kepada Kupas Media Grup, Selasa (14/06/25) lalu. lengkapnya baca;kupasberita.com @Sovia Enggraini kreator 💓

About