@middleeastmonitor: (Snippet 1 from The Sinking Ship of Israel | Palestine This Week) The latest offensive saw Israel assassinate five Al Jazeera journalist in Gaza, including prominent correspondent Anas al-Sharif. The drone attack late on Sunday hit a tent for journalists positioned outside the main gate of Gaza City’s al-Shifa Hospital. More than 270 journalists have now been killed. Full episode on our YouTube and website. Watch full episode: https://youtu.be/uY_H_u7IXfM

Middle East Monitor
Middle East Monitor
Open In TikTok:
Region: BD
Monday 18 August 2025 12:55:46 GMT
203
5
0
0

Music

Download

Comments

There are no more comments for this video.
To see more videos from user @middleeastmonitor, please go to the Tikwm homepage.

Other Videos

POV| Sebagai seorang manusia, punya cita-cita tinggi, harapan akan kehidupan yang lebih baik, menikah dengan laki-laki yang benar-benar kucintai… itu adalah mimpi indah yang aku rawat sejak kecil. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, aku membayangkan hidupku nanti akan penuh warna. Bekerja sesuai passion, menikah dengan sosok yang buat aku jatuh cinta tiap hari, lalu membangun keluarga dengan bahagia. Sayangnya, semua impian itu runtuh dalam semalam. Runtuh bukan karena aku menyerah, tapi karena orang tuaku ‘memilihkan’ sendiri siapa yang akan menjadi masa depanku. Namanya Agam. seorang guru SMA di kota ini. Bukan kota besar, tapi juga bukan kota kecil yang sepi—tempat di mana semua orang hampir saling mengenal, gosip cepat menyebar, dan profesi guru masih dianggap terhormat. agam dikenal baik, tenang, dan rajin. Wajahnya biasa saja, suaranya lembut, dan tatapannya lurus, seolah tak pernah menuntut apa pun. Dia bukan tipe pria yang pernah kubayangkan akan kujadikan pasangan. Tidak flamboyan, tidak ambisius, bahkan terkesan terlalu sederhana. Awalnya aku menolak. Keras. Aku pikir, bagaimana mungkin aku, Prasha, yang punya mimpi setinggi langit, harus menghabiskan hidup dengan laki-laki yang bahkan tidak kucintai? Tapi… entah kenapa, hanya dua pekan setelah pertemuan pertama, hatiku berkata 'coba saja'. Dan sejak hari itu, nama “Agam” mulai menempati ruang yang tidak pernah kusangka akan begitu hangat dalam hidupku. Perrnikahan kami sederhana. Tanpa pesta megah, tanpa gaun putih panjang seperti yang dulu sering kubayangkan. Hanya akad di sebuah aula kecil milik kantor kecamatan, disaksikan keluarga inti dan beberapa tetangga dekat. aku masih ingat betul detik-detik pertama menyandang nama sebagai istrinya. Ada rasa asing, canggung, bahkan takut. Hari-hari pertama tinggal bersama Agam terasa sunyi. Dia tidak banyak bicara, hanya seperlunya. tapi perlahan, aku mulai sadar, sunyi itu bukan berarti dingin. pagi-pagi sekali, sebelum aku sempat bangun, rumah sudah rapi. Lantai disapu, kadang bahkan dipel. kalau aku protes, agam hanya tersenyum tipis dan bilang, “Biar kamu nggak kecapean.” Sepulang mengajar, biasanya menjelang sore, dia akan menjemur atau melipat pakaian yang sudah kering. Tidak pernah sekali pun dia menyerahkan seluruh pekerjaan rumah padaku. Kalau aku sedang mencuci piring, Agam dengan tenang mengelap meja. Kalau aku sibuk menata belanjaan, Agam merapikan kursi. Seolah-olah semua urusan rumah tangga adalah milik kami, bukan tugasku seorang. Uang gajinya pun ditata dengan rapi. Aku tidak pernah melihat amplop gaji utuh, karena setiap lembar sudah punya tujuan. Kebutuhan makan dipisahkan, kebutuhan rumah disimpan, dan yang “kurang jelas”—seperti uang saku dari wali murid dipakai untuk membeli hal-hal kecil yang membuat rumah kami lebih nyaman. Malam hari, setelah semua selesai, kami hanya berbincang sebentar sebelum tidur. Topiknya tidak pernah jauh—sekolah, murid-muridnya, atau sekadar menanyakan hariku. Kadang aku berharap Agam lebih ekspresif, lebih banyak bicara, atau sekadar membuat kejutan kecil seperti dalam cerita-cerita cinta yang kubaca. Tapi dia tetap agam yang sama. Agam yang tenang, pelan, dan sederhana. Aku masih ingat jelas momen pertama kali garis dua itu muncul di test pack. Bukan cuma aku yang terdiam lama di kamar mandi, tapi juga Agam. Wajahnya pucat, tangannya gemetar, tapi matanya berbinar dengan cara yang sulit kugambarkan. Seolah-olah dia baru saja memenangkan sesuatu yang tak pernah dia perjuangkan dengan teriak-teriak. Tapi kebahagiaan itu hanya sebentar. Beberapa minggu setelahnya, tubuhku melemah. Dokter bilang rahimku tidak terlalu kuat, dan sejak saat itu bleeding kecil sering terjadi. Aku harus bedrest. Dilarang kelelahan, dilarang banyak gerak. Rasanya menyakitkan. Bukan hanya karena tubuhku sering kram dan perih, tapi juga karena aku merasa tidak berguna. Aku yang biasanya mandiri, kini hanya bisa berbaring, ditemani rasa takut kehilangan calon anak kami. (comsect+) #heeseung #enhypen #pov #fyp
POV| Sebagai seorang manusia, punya cita-cita tinggi, harapan akan kehidupan yang lebih baik, menikah dengan laki-laki yang benar-benar kucintai… itu adalah mimpi indah yang aku rawat sejak kecil. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, aku membayangkan hidupku nanti akan penuh warna. Bekerja sesuai passion, menikah dengan sosok yang buat aku jatuh cinta tiap hari, lalu membangun keluarga dengan bahagia. Sayangnya, semua impian itu runtuh dalam semalam. Runtuh bukan karena aku menyerah, tapi karena orang tuaku ‘memilihkan’ sendiri siapa yang akan menjadi masa depanku. Namanya Agam. seorang guru SMA di kota ini. Bukan kota besar, tapi juga bukan kota kecil yang sepi—tempat di mana semua orang hampir saling mengenal, gosip cepat menyebar, dan profesi guru masih dianggap terhormat. agam dikenal baik, tenang, dan rajin. Wajahnya biasa saja, suaranya lembut, dan tatapannya lurus, seolah tak pernah menuntut apa pun. Dia bukan tipe pria yang pernah kubayangkan akan kujadikan pasangan. Tidak flamboyan, tidak ambisius, bahkan terkesan terlalu sederhana. Awalnya aku menolak. Keras. Aku pikir, bagaimana mungkin aku, Prasha, yang punya mimpi setinggi langit, harus menghabiskan hidup dengan laki-laki yang bahkan tidak kucintai? Tapi… entah kenapa, hanya dua pekan setelah pertemuan pertama, hatiku berkata 'coba saja'. Dan sejak hari itu, nama “Agam” mulai menempati ruang yang tidak pernah kusangka akan begitu hangat dalam hidupku. Perrnikahan kami sederhana. Tanpa pesta megah, tanpa gaun putih panjang seperti yang dulu sering kubayangkan. Hanya akad di sebuah aula kecil milik kantor kecamatan, disaksikan keluarga inti dan beberapa tetangga dekat. aku masih ingat betul detik-detik pertama menyandang nama sebagai istrinya. Ada rasa asing, canggung, bahkan takut. Hari-hari pertama tinggal bersama Agam terasa sunyi. Dia tidak banyak bicara, hanya seperlunya. tapi perlahan, aku mulai sadar, sunyi itu bukan berarti dingin. pagi-pagi sekali, sebelum aku sempat bangun, rumah sudah rapi. Lantai disapu, kadang bahkan dipel. kalau aku protes, agam hanya tersenyum tipis dan bilang, “Biar kamu nggak kecapean.” Sepulang mengajar, biasanya menjelang sore, dia akan menjemur atau melipat pakaian yang sudah kering. Tidak pernah sekali pun dia menyerahkan seluruh pekerjaan rumah padaku. Kalau aku sedang mencuci piring, Agam dengan tenang mengelap meja. Kalau aku sibuk menata belanjaan, Agam merapikan kursi. Seolah-olah semua urusan rumah tangga adalah milik kami, bukan tugasku seorang. Uang gajinya pun ditata dengan rapi. Aku tidak pernah melihat amplop gaji utuh, karena setiap lembar sudah punya tujuan. Kebutuhan makan dipisahkan, kebutuhan rumah disimpan, dan yang “kurang jelas”—seperti uang saku dari wali murid dipakai untuk membeli hal-hal kecil yang membuat rumah kami lebih nyaman. Malam hari, setelah semua selesai, kami hanya berbincang sebentar sebelum tidur. Topiknya tidak pernah jauh—sekolah, murid-muridnya, atau sekadar menanyakan hariku. Kadang aku berharap Agam lebih ekspresif, lebih banyak bicara, atau sekadar membuat kejutan kecil seperti dalam cerita-cerita cinta yang kubaca. Tapi dia tetap agam yang sama. Agam yang tenang, pelan, dan sederhana. Aku masih ingat jelas momen pertama kali garis dua itu muncul di test pack. Bukan cuma aku yang terdiam lama di kamar mandi, tapi juga Agam. Wajahnya pucat, tangannya gemetar, tapi matanya berbinar dengan cara yang sulit kugambarkan. Seolah-olah dia baru saja memenangkan sesuatu yang tak pernah dia perjuangkan dengan teriak-teriak. Tapi kebahagiaan itu hanya sebentar. Beberapa minggu setelahnya, tubuhku melemah. Dokter bilang rahimku tidak terlalu kuat, dan sejak saat itu bleeding kecil sering terjadi. Aku harus bedrest. Dilarang kelelahan, dilarang banyak gerak. Rasanya menyakitkan. Bukan hanya karena tubuhku sering kram dan perih, tapi juga karena aku merasa tidak berguna. Aku yang biasanya mandiri, kini hanya bisa berbaring, ditemani rasa takut kehilangan calon anak kami. (comsect+) #heeseung #enhypen #pov #fyp
#POV 'Pulang Lewat Pelukan' * 9 tahun, 4 bulan, 17 hari, 6 jam, 42 menit, dan 19 detik. Sepanjang itu mereka bersama—4 tahun pacaran, 5 tahun menikah. Tidak ada hari yang selalu damai, meski cinta tumbuh di antara keduanya. Mereka belajar mengolah rasa, menahan amarah, mengurai kusut yang sering kali mereka buat sendiri. Cinta mereka bukan lagi cinta muda yang penuh ledakan dan ragu, melainkan cinta matang yang tahu arti pulang. Adrian mencintai Evelyn, begitu pula Evelyn mencintai Adrian. Cinta mereka setara, nyaris satu dasawarsa, dan tidak ada setitik pun sesal. Setiap pertengkaran kecil hanya menjadi alasan untuk kembali berpegangan tangan. Tapi malam itu, waktu yang mereka bangun bersama terasa digunting pelan. Adrian terbaring di ranjang rumah sakit, tubuhnya dipenuhi kabel dan selang yang terhubung ke mesin-mesin berlampu hijau berkedip. Bau antiseptik menusuk hidung. Lampu redup di sudut ruangan menciptakan bayangan lembut di wajahnya yang pucat. Dari jendela, samar-samar terdengar suara hujan gerimis menimpa kanopi. Evelyn duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan kurus suaminya erat, seolah dunia akan memisahkan mereka jika ia melepasnya. Udara di ruangan terasa dingin, tapi telapak tangannya tetap hangat di genggaman Adrian. “Kenapa, sayang? Mau minum?” tanyanya lembut. Adrian menggeleng, bibirnya mengukir senyum tipis. “Apa kamu menyesal?” Evelyn menatapnya dalam, menggeleng tanpa ragu. “Tidak, dan tidak akan pernah. Mencintaimu adalah hal yang aku lakukan tanpa pencitraan, tanpa pamrih. Menjadi istri seorang lelaki bertanggung jawab adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa. Aku tahu, kamu bukan milikku, tapi milik yang punya semesta. Begitu pula aku.” Air matanya jatuh, membasahi jemari yang masih ia genggam. “Saya cinta kamu. Tapi saya tidak mau mengalahkan cinta Tuhan padamu. Apa pun yang terjadi nanti, saya ikhlas… saya ikhlas, Ian.” Adrian tersenyum, butir bening mengalir di pipinya. “Terima kasih…” Ia bawa tangan istrinya ke dadanya, merasakan detak yang makin melemah. Mereka tertidur dalam posisi itu. Pukul 03.14 dini hari, Evelyn terbangun oleh suara bip panjang dan datar. Monitor berhenti menghitung. Di luar, hujan berhenti, meninggalkan bau tanah basah yang menguar masuk lewat celah jendela. Ian sudah pergi. Ia bangkit, mencium kening suaminya yang pucat, air matanya jatuh tanpa henti. Pelan, ia memeluk tubuh itu, suaranya pecah di antara sesak yang menyesakkan dada. “Terima kasih, Tuhan… sudah ciptakan Ian, untuk saya. Dan saya, untuk Ian.” -END #jay #enhypen #pov #fyp #jongseong
#POV 'Pulang Lewat Pelukan' * 9 tahun, 4 bulan, 17 hari, 6 jam, 42 menit, dan 19 detik. Sepanjang itu mereka bersama—4 tahun pacaran, 5 tahun menikah. Tidak ada hari yang selalu damai, meski cinta tumbuh di antara keduanya. Mereka belajar mengolah rasa, menahan amarah, mengurai kusut yang sering kali mereka buat sendiri. Cinta mereka bukan lagi cinta muda yang penuh ledakan dan ragu, melainkan cinta matang yang tahu arti pulang. Adrian mencintai Evelyn, begitu pula Evelyn mencintai Adrian. Cinta mereka setara, nyaris satu dasawarsa, dan tidak ada setitik pun sesal. Setiap pertengkaran kecil hanya menjadi alasan untuk kembali berpegangan tangan. Tapi malam itu, waktu yang mereka bangun bersama terasa digunting pelan. Adrian terbaring di ranjang rumah sakit, tubuhnya dipenuhi kabel dan selang yang terhubung ke mesin-mesin berlampu hijau berkedip. Bau antiseptik menusuk hidung. Lampu redup di sudut ruangan menciptakan bayangan lembut di wajahnya yang pucat. Dari jendela, samar-samar terdengar suara hujan gerimis menimpa kanopi. Evelyn duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan kurus suaminya erat, seolah dunia akan memisahkan mereka jika ia melepasnya. Udara di ruangan terasa dingin, tapi telapak tangannya tetap hangat di genggaman Adrian. “Kenapa, sayang? Mau minum?” tanyanya lembut. Adrian menggeleng, bibirnya mengukir senyum tipis. “Apa kamu menyesal?” Evelyn menatapnya dalam, menggeleng tanpa ragu. “Tidak, dan tidak akan pernah. Mencintaimu adalah hal yang aku lakukan tanpa pencitraan, tanpa pamrih. Menjadi istri seorang lelaki bertanggung jawab adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa. Aku tahu, kamu bukan milikku, tapi milik yang punya semesta. Begitu pula aku.” Air matanya jatuh, membasahi jemari yang masih ia genggam. “Saya cinta kamu. Tapi saya tidak mau mengalahkan cinta Tuhan padamu. Apa pun yang terjadi nanti, saya ikhlas… saya ikhlas, Ian.” Adrian tersenyum, butir bening mengalir di pipinya. “Terima kasih…” Ia bawa tangan istrinya ke dadanya, merasakan detak yang makin melemah. Mereka tertidur dalam posisi itu. Pukul 03.14 dini hari, Evelyn terbangun oleh suara bip panjang dan datar. Monitor berhenti menghitung. Di luar, hujan berhenti, meninggalkan bau tanah basah yang menguar masuk lewat celah jendela. Ian sudah pergi. Ia bangkit, mencium kening suaminya yang pucat, air matanya jatuh tanpa henti. Pelan, ia memeluk tubuh itu, suaranya pecah di antara sesak yang menyesakkan dada. “Terima kasih, Tuhan… sudah ciptakan Ian, untuk saya. Dan saya, untuk Ian.” -END #jay #enhypen #pov #fyp #jongseong

About